kris bhedaSaya masih ingat cerita salah seorang kawan, dia adalah mantan pasukan GAM. Pada masa konflik, ketika sedang menggendong senjata dan mengokang lantas menembak ke sasaran ’ngeri…ngeri sekali’, katanya ’Jika orang mengatakan perang itu kejam dan sadis, saya mengakui itu, kami saling tembak menembak, tanpa sedikit pun rasa takut. Tujuannya adalah kami memang dengan korban dipihak musuh” akunya lebih lanjut.

 Sementara itu salah seorang korban konflik di Aceh Barat, yang menyaksikan dan mengalami langsung kelamnya masa konflik  melukiskan tentang sebuah peristiwa yang menimpa seorang wanita korban konflik ”Dia rela meninggalkan bayinya di semak belukar, lalu lari ke gunung untuk menemukan suaminya. Sekarang pikirannya seperti orang gila” kisahnya ”Malam tidak bisa keluar, tidak bisa kemana-mana, kalau mau pergi kebun takut, mau keluar pintu juga takut, terpaksa di rumah saja” kisahnya lebih lanjut melukiskan situasi yang terjadi ketika itu.

 Di atas adalah dua penggal kesaksian yang sekarang menjadi cerita di warung-warung kopi, di peristirahatan perjalanan dan juga di catatan-catatan dan tulisan-tulisan. Konflik di Aceh antara RI dan GAM sudah usai sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Yang tertinggal di tahun-tahun sesudahnya adalah rekaman peristiwa, kenangan pada cerita dan perubahan untuk menata kembali Aceh dari puing-puing kehancuran.

 Namun sekarang ada sesuatu yang menarik muncul di Aceh. Bahwa perang itu muncul lagi. Kontak senjata berkecamuk kembali. Korban pun berjatuhan. Rintihan air mata pun tumpah. Jalanan kota dan desa menjadi mencekam. Dan desingan peluru terdengar dimana-mana. Hanya saja tidak sesadis dulu, tidak sekelam masa lalu. Perang yang sekarang muncul diselingi dengan tawa. Dan air mata yang tertumpa adalah air mata kegembiraan. Korban yang berjatuhan adalah korban-korbanan. Dan mencekamnya jalan kota dan desa adalah sebuah situasi yang sengaja diciptakan oleh bocah-bocah agar tampak merinding.

 Perang dalam versi baru ini terjadi persis setiap hari lebaran pertama sampai kelima. Anak-anak bermain perang-perangan. Uniknya perang itu terjadi hanya dalam jangka waktu lima hari itu saja setiap tahun. Mungkin sejak seusai konflik sampai kini. Siapa yang memulai semuanya ini, belum ditelisik. Dan mungkin akan menarik jika ditelisik dan di-studi.

 Pertanyaannya apakah perang-perangan yang digagas bocah-bocah di hampir seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darusallam selama lima hari sejak lebaran itu adalah bias dari perang yang terjadi di masa konflik? Apakah bocah-bocah itu melakukan sebuah peniruan? Secara psikososial mungkin mesti ditelisik dan digali. Sebab jangan-jangan ada kenangan akan masa lalu yang sulit lupa.

 ”Masa lalu, ya masa lalu” Aku Irfan, bocah berusia 9 tahun di salah satu sekolah dasar di Meulaboh Aceh Barat. ”Kami hanya main-main, kan ada bunyi-bunyi kayak bunyi petasan…” kisahnya lebih lanjut. Ketika ditanyai mengapa harus memilih menggunakan senjata mainan ketimbang petasan biasa ”Kan…senjata lebih gagah, lebih keren” jawab Irfan.  Hal yang sama pun diakui Dedy, Mus, Fikri, Jufri dan kawan-kawan Irfan yang lain. ”Perang zaman dulu, RI dan GAM kan sudah selesai, kami bukan perang seperti itu, yang merayap di hutan-hutan. Kami perang di jalan begini. Kalau ada kawan-kawan yang lewat bawa senjata, nah kita tembak-tembakan…Cuma untuk senang-senang doang” tambah Jufri sambil membenarkan kaca mata hitamnya. 

 Mendengar kata bocah-bocah di atas, dari pengakuan mereka yang tulus dan kisah mereka yang jujur saya lantas menarik garis tafsir bahwa ’perang’ belum usai, namun hanya terjadi perubahan isi dan makna dari ’sadis’ menjadi ’manis’. Jika resiko yang dihadapi perang dimasa konflik dahulu adalah kematian dan air mata, maka sekarang yang tercipta adalah kebahagiaan dan tertawa. Jika perang dimasa lalu bermuara pada kemerdakaan dan pemisahan diri, maka muara perang yang dilakonkan bocah-bocah adalah dalam visi baru ini yakni sebagai ucapan selamatan lebaran dan ’senang-senang doang’. Salam Aceh Damai.