Berkelebat begitu saja, suatu ketika, dalam ruang pikirku perihal ‘apa itu karya ilmiah’. Pertanyaan singkat ini akhirnya bukan hanya menghujamku selalu, tetapi juga menyembul-nyembul tanya. Lantas, aku pun menjadi semakin ingin tahu. Pertanyaan lain yang lantas muncul adalah ‘apakah semua karya fiksi tidak dapat disebut karya ilmiah’

Menulis dengan bereferensi pada konsep, pandangan dan gagasan orang lain yang terekan dalam teks-teks di perpustakaan, pun dalam perjumpaan dengan konteks disebut sebagai pekerjaan akademik. Siapa pun tidak dapat menampiknya, skripsi, riset tesis dan bahkan disertasi doktoral dipandang sebagai buah karya akademik (baca ilmiah).

Ke-akademik-an dan ke-ilmiah-an sebuah karya dipandang, menurutku karena kurang lebih tiga hal, yakni pertama adalah konsistensi pada pendekatan yang diambil, kedua, pada ketajaman analisis yang berelevansi tidak hanya pada teks tetapi juga pada konteks. Dan selanjutnya, ketiga adalah pada ke-baru-an. Ke-baru-an menunjuk bukan hanya pada orisinalitas karya tetapi juga ada sesuatu yang baru yang hendak ‘diajarkan’, ditawarkan dan disampaikan penulis.

Apakah dalam sebuah karya fiksi hal di atas tidak tersentuh? Rupa-rupanya tidak. Justru sebaliknya karya fiksi yang berhasil dan baik, justru karena menempuh tiga tahap di atas yakni melalui pendekatan yang tepat, dianalisis secara tajam, dan berhasil menawarkan gagasan yang relevan dari proses kreatif yang orisinal dapat disebut sebagai sebuah karya ilmiah.

Dalam catatan kecil ini aku hendak menunjukkan beberapa karya fiksi yang ternyata berangkat dari riset yang panjang dan mendalam. Sebut saja di antaranya adalah dua karya terbaru Andrea Hirata PADANG BULAN dan CINTA DALAM GELAS. Menurut Andrea karyanya tersebut memakan waktu 3,5 tahun untuk riset. “Riset 3,5 tahun, nulis 3 minggu. Panjang sekali. Antara lain karena melibatkan responden. Riset sampai ke luar negeri, sempat ke Australia, dibandingkan. Di Darwin, masyarakat tambang, banyak kesamaan antara orang Belitung dan Darwin,” paparnya.

Novel lain yang berangkat dari riset yang mendalam adalah LARUNG karya Ayu Utami. Seperti yang digambarkan Begawan dalam http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=14955 “Jangan salah duga, Larung bukan novel yang berangkat dari psikoanalisis yang hendak menguliti relung-relung perilaku manusia dan berakhir dengan pamer istilah keilmuan. Ini novel kaya tema, yang melansir pergulatan batin tokoh-tokohnya, mitologi, kesejarahan, keadaan sosial-politik berikut segala kebebalan dan kebiadabannya”

“Dalam tema yang disebut terakhir tadi, ada dua setting yang diambil Larung. Yakni, peristiwa pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (1965-1966) dan peristiwa penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri yang dikenal dengan Peristiwa 27 Juli 1996. Jika pembantaian massal menandai berdirinya Orde Baru, penyerbuan kantor partai politik itu menandai awal hancurnya Orde Baru di bawah rezim Presiden Soeharto. Tanpa berpretensi hendak mengungkap lika-liku sejarah, di antara kedua peristiwa tersebut, Ayu memompakan kegetiran-kegetiran yang dialami kaum muda dalam menghadapi kekuasaan yang memuakkan”

“Kekayaan tema tak datang dari langit ketujuh. Selama tiga tahun proses penulisan Larung, Ayu Utami membanting-tulang dalam riset ke berbagai tempat. Di antaranya ke bagian forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk melihat anatomi tubuh. Ke Museum Zoologi, Bogor, untuk menghapal binatang, juga tumbuhan. Ke Pulau Bintan untuk memotret situasi tempat pelarian para aktivis. Ke Tulungagung untuk mendengar cerita-cerita mengenai ilmu hitam. Juga ke Kediri, situs bekas kerajaan Kediri dan Jenggala tempat raja Erlangga bertahta, demi menangkap mitos-mitos berkembang di situ”

Dua contoh karya fiksi (novel) di atas hanyalah sedikit contoh yang sengaja aku angkat untuk menunjukkan ke-ilmiah-an sebuah karya. Hanya memang ada faktor pembeda dalam penyampaian yang akhirnya membangun imege dan cara pandang kita atas sebuah karya. Padahal tidak semua karya sastra atau karya tulis seseorang yang masuk dalam kategori ‘fiksi’ selalu lahir dari imajinasi semata.

Jika mau jujur, menurutku, yang sesungguhnya disebut karya akademik, buah eksplorasi intelektual adalah karya fiksi yang demikian. Mengapa tidak, seorang penulis tidak hanya menampilkan fakta dan data, dianalis dengan cermat dan dirasuki dengan imajinasi yang luar biasa, tetapi juga memberi sentuhan-sentuhan relevansi yang menarik. Ia bahkan tidak hanya melewati tiga tahap seperti yang aku sebut di atas, tetai justru mencoba melampauinya dengan memberikan refleksi yang mendalam.

Bagiku, hal ini penting untuk diajar-tularkan kepada generasi muda, agar tidak terjebak dalam pandangan bahwa karya sastra adalah soal imajinasi semata, bukan merupakan pekerjeaan intelektual yang cerdas. Hal lain adalah agar generasi muda menjadi lebih kreatif dalam membaca dan menuliskan teks dan konteks. Lebih lanjut adalah agar memberikan wawasan kepada generasi muda bahwa sesungguhnya sebuah karya sastra sama bermartabatnya dengan sebuah riset skripsi dan atau tesis sekalipun.