Permainan-Sepakbola-Online-Yang-MenguntungkanAir mata selecao-samba masih basah setelah dihempas Die Mannschaft di Magalhaes Pinto, Mineirao, Belo Horizonte. Tujuh cabikan terparah sepanjang sejarah menyisahkan luka mendalam. Tidak bersela lama, air mata itu kembali tumpah di Estadio Nacional. Hollanda menambah dengan tiga sobekan. Sepuluh jari Scolari pun berhenti menoque (toque) Berimbau. Kaki-kaki tak hanya kikuk, tapi juga kaku.

Mengapa tidak, belum genap sepekan sepuluh cabikan menghapus jejak kedigdayaan Samba. Jika mau nakal, Penyair Chilie, Pablo Neruda sepertinya salah. Sebab dia pernah berujar bahwa “Orang Spanyol (Eropa) mengambil emas kita, namun kita memperoleh emas mereka yaitu kata-kata.” Bukan hanya emas direbut, kata pun tak dapat dipungut. Brazil sepi tanpa kata. Sebagian besar Amerika Latin (kecuali Argentina) diam.

Hanya ada air mata. Tidak hanya manusia Brazil yang dilanda duka, sang Tuhan, Cristo Redentor di puncak Rio de Janeiro pun tak kuasa menyeka air mata. Jika pun ada kata. Kata-kata itu direnggut sumpah serapah. Atas nama Tuhan dan sejarah dengan dua anak emasnya: Pele dan Garincha, Selacao disumpah hingga sum-sum tulang. Sebagai aib dari segenap aib.

Keajaiban Tuhan, Cristo Redentor dalam rentangan dua tangannya. Pun apalagi, kegemilangan zaman Garincha dan Pele dalam sekejap lenyap. Bola adalah bola. Mengutip Heraclitus, yang terjadi adalah pantha rei. Bersama air mata, bola itu terus mengalir. Bola tidak pernah kembali, selain selalu pergi mengubah dirinya sendiri. Apalagi mengalir ke puncak. Menjadi mahkota di ujung langit Rio de Janeiro.