love“Di depan pintu surga nan lapan,

sebuah suangai indah sekali,

batu di sana bercampur intan,

berkawan-kawan para bidadari.

Bidadari itu sedang rupawan,

keluar ke padang berbaris berdiri

memegang kipas masing di tangan

menanti tunangan di Prang Sabil”  

 

Inilah yang membuat Teungku Syik Mahyed bin Saman di Tiro dan istrinya Pocut Gambang pada 1810 berani syahid di tangan Nussie sang morsose Belanda. Panggilan jiwa ini pula yang membuat Teuku Cut Ali dari Bakongan tidak takut melawan kafir Belanda walau akhirnya harus mati tertembak pada tahun 1927.

 Ainom Mardliah telah membuat pemuda Aceh pada masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia pantang menyerah dan rela gugur di medan juang. Mati syahid dan menjadi Syuhada adalah pilihan suci ketimbang Serambi Mekkah dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik   diobok-obok Belanda dan penjajah kafir. Sang bidadari tidak hanya menyulut jiwa patriotisme dan nasionalisme, tetapi juga romantisme paling sakral.

 Ainom Mardliah, itulah tokoh rekaan dalam Hikayat Prang Sabil yang ditulis Teungku Syik Pante Kulu. Beliau menulis hikayat tersebut dalam perjalanan Mekkah – Aceh dengan menggunakan tulisan Arab berbahasa Aceh. Alasan Syik Pante Kulu menuliskan hikayat ini karena di balik dadanya menyembul kecemasan mendalam akan perilaku dan sikap Belanda yang terlalu semena-mena dan menghasut. Dimana pada masa pendudukan Belanda di Bumi Serambi Mekkah, melalui Snochk Horgaranye, Belanda telah merasuk masyarakat Aceh dengan kedok belajar tentang Islam. Melihat kecerdikan busuk itu, Syik Pante Kulu menuliskan Hikayat Prang Sabil, untuk mempengaruhi pemuda Aceh tanpa takut mati berperang mengangkat senjata mengusir belanda.

 Hikayat Prang Sabil terdiri atas 4 kisah, yaitu kisah Pasukan Gajah, Kisah Sa’id Salmi, kisah Budak Mati Hidup Kembali dan Kisah Ainom Mardliah. Kisah yang disebutkan terakhir ini bercerita tentang mimpi seorang pemuda sedang dalam perjalanan ke medan perang. Dalam mimpi itu dilukiskan di memasuki taman surga dengan sungai yang berair jernih. Di dalam sungai tersebut dara-dara jelita sedang mandi dengan Ainom Mardliah sebagai ratunya. Dara-dara itu diperuntukan bagi orang-orang mati syahid dalam Prang Sabil.

 “Assalamualaikum, dara pilihan,

dimana gerangan tunangan hamba?

 Ainom Mardliah puteri rupawan

di tempat dimana dia bertakhta?

Alaikumsalam, kekasih Allah

Alhamdudilah tuan kemari,

ziarah tunangan Ainom Mardliah

hadiah Allah Ilahi Rabbi

 Berbahagialah tuan pahlawan kami

Rasalah pahala wahai mahkota

Hadiah jihad mujahid berani

Puteri menanti di dalam surga

 Mari pahlawan mujahid budiman

Gegas berjalan sebentar lagi

Nun di sana di dalam taman

Tuan puteri rindu menanti

 Apalah arti kami ini

Dayang pelayan gaharu tuanku

Perhi oh, tuan lekas pergi

di sana tunangan memendam rindu

 (nukilan ini dikutib dari Ensiklopedi Aceh/L.K. Akra, Medri, 2008)

 Hasbalah M. Saad menyebutkan bahwa Teungku Syik Pante Kulu sangat sukses mengeksploitasi harapan, kewajiban, imajinasi dan seruan untuk jihad, serta romantisme anak muda Aceh pada masa perjuangan. Tentang hikayat sendiri, Saad menjelaskan bahwa hikayat Prang Sabil mampu membuat keterlibatan emosinal dan mental pembaca dan pendengar, sebab penulis hikayat bertutur langsung dengan pembaca dan pendengar, bukan seperti hikayat lainnya yang bercerita tentang kisah-kisah. (Hasbalah M. Saad ‘Hikayat Prang Sabil’ dlm. Aceh Kembali Ke Masa Depan, IKJ Press Jakarta 2005).

 

Catatan: sebagai ilustrasi saya mengambil lukisan Gibran yang berjudul “Love” (www.lebanonpostcard.com/…/4-love.shtml) Karya Gibran baik essai, prosa, puisi maupun lukisan mengambarkan tentang relasi personal antara manusia dengan Tuhan. Dan perlu diketahui bahwa karya-karyanya telah mempengaruhi perjuang pemuda Lebanon, salah satu diantaranya adalah ‘Jiwa-Jiwa Pemberontak’