Di tanah Papua, Bintang Kejora telah menjadi symbol perlawanan, pertentangan dan perjuangan. Bintang Kejora telah berubah rupa menjadi mesiu dan peluru. Benang-benangnya mengeras jadi senjata dan busur panah. Pengibarannya pada segala tempat, pada bukit-bukit dan dataran-dataran pun lembah-lembah telah menjadi kekuatan untuk mengangkat senjata. Dan siapa pun yang menurunkannya disebut sebagai penuntas perseteruan yang tak kunjung henti itu.

Di tanah Papua, Bintang Kejora telah melahirkan stigma yang lahir dari rahim prasangka dan curiga. Separatis dilabelkan kepada mereka yang mengibarkannya, dan aparat adalah mereka menghendaki perdamaian. Dan tentang Bintang Kejora itu sendiri lahir frasa ‘harus diamankan’, dilipat-bungkus-rapat-rapat, dan bila perlu dibakar.

Di tanah Papua, Bintang Kejora tak lagi bercahaya seperti sediakala. Simbol identitas dan kehidupan itu diturun-rendahkan jadi ajal yang mengendap dalam kuburan. Melihatnya berkibar adalah trauma. Karena kematian selalu menyapa. Melihatnya berkibar menjadi sesuatu yang langka, serumit warga Papua berharap pada kehidupan yang tenang.

Di tanah Papua, Bintang Kejora telah luncas dipandang. Simbol martabat dan jatidiri  tanah Papua itu direduksi menjadi pengingkaran. Simbol relasi antara warga Papua dan Tuhan-nya telah dipandang sebagai pengingkaran atas Tuhan-nya Pancasila. Simbol keagungan alam telah dimaknai sebagai perong-rongan. Dan pun symbol kehidupan itu telah berubah raut jadi kematian.

“Kembalikan Bintang Kejora pada langit imannya. Biarkan dia berkibar pancarkan kehendak keyakinan warganya. Biarkan doa, harapan dan kehendak mereka menjulang menjumpa Tuhan. Biarkah mereka menyaksikan kemilau alam dalam kibarannya”

Sepicik itukah kau Indonesia? Segarang itukah kau Papua? Rupa-rupanya tidak, jika dan jika kepicikan dan kegarangan itu duduk berapat-rapat tuntaskan masalah. Tanah Papua ingin lepas dan warganya berteriak merdeka, bukan lantaran tidak mencintai Pancasila dan tak tunduk hormat pada Sang Saka Merah Putih.

Lantaran tanah Papua dieksploitasi, alamnya digerogoti, warganya ditindas dan di-cap bodoh, dan harmoni relasi mereka dengan Tuhan, Alam dan Manusia dicabik-cabik maka mereka menjadi kian garang. Siapa tak sakit jika jatidirinya digadai. Siapa yang tak terluka jika martabatnya dijual. Siapa yang mau angkat senjata mempertahankan dirinya jika dia dihujam berulang oleh peluru dan stigma. Indonesia, sekali lagi Indonesia, seharusnya menjawab sederetan pertanyaan di atas dengan bijak.

Jika tidak, sekalipun tanah Papua tenggelam dan warganya punah, perang panjang tak akan pernah sudah. Bintang Kejora akan tetap hadir dalam bayang-bayang, yang tidak hanya berkibar pancarkan cahaya, tetapi tak pernah lelah lepaskan tampar.

Lantaran itu, singkat kisah, tentang Bintang Kejora bagi warga Papua tak sepicik yang dibayangkan. Bintang Kejora adalah iman. Satu pesan sebelum lupa. Kembalikan Bintang Kejora pada langit imannya. Biarkan dia berkibar pancarkan kehendak keyakinan warganya. Biarkan doa, harapan dan kehendak mereka menjulang menjumpa Tuhan. Biarkah mereka menyaksikan kemilau alam dalam kibarannya. Sebab demikianlah sejatinya Bintang Kejora itu ada sejak kisah Abraham Bapak Bangsa dan atau Nabi Ibrahim (Q. S. 6:79). Biarkan mereka beriman tanpa rasa takut. Hanya itu. Tidak lebih.