Kawanku menggeleng-geleng kepala, sampai urat keras lehernya menyembul ketika saya mengatakan kalau salah satu daerah di Flores, khususnya di daerah sikka Maumere dan Larantuka belisnya menggunakan gading. “Memangnya di Flores ada gajah??” Tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

“Saya juga bingung teman, kalau tidak salah semua orang Flores sepertinya hanya tahu gajah dari buku pelajaran di sekolah dasar. Gajah, belalainya panjang, ekornya kecil, kalau berjalan bergoyang-goyang “. Dia terkekeh. “Teman, terus berapa harga gading satu batang?” Tanyanya lebih lanjut. “Harganya berkisar antara lima sampai tiga puluh juta teman” saya menjawab.

Dia menggelengkan lagi kepalanya. Untuk kawanku, fakta itu tidak masuk akal. Dalam hati kecil, saya juga mempertanyakan itu, mengapa harus gading, dan bukan yang lain.Tapi mau apa dikata, demikianlah fakta budaya orang sikka. “Teman, lain padang, lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Jadi setiap daerah memiliki adat dan budayanya sendiri “saya mencoba menjelaskan.

Kawanku memaklumi itu. Dan saya pun demikian. Memang hampir sulit dipercaya kalau di Flores, khususnya di sikka dan juga Larantuka belis untuk perempuan menggunakan gading. Tetapi perlu dicatat bahwa itu bukan berarti orang Flores ‘mengubah’ anak gadisnya dengan gading. Itu hanya sebagai harga adat, bahwa adat dan budaya nenek moyang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sebagaimana bangsa manusia memiliki jati dirinya masing-masing, demikian pula Flores, memiliki identitas budayanya sendiri.

Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di: http://floresunik.wordpress.com/2010/02/28/gading-sebagai-identitas-budaya/