Jalur Pantura Pulau Flores, melewati pemandangan yang indah serentak mendengar tangisan pedih penderitaan

Awal Januari 2010, saya melintasi jalur utara pulau Flores, dari Aesesa, tanah Nagekeo menuju Kuta Uneng tanah Sikka. Perjalanan yang panjang, melintasi gunung dan bukit, membuat badan saya terasa penat. Bus kayu yang mengangkut kami bersepuluh, bersebelas, atau berduabelas (saya lupa berapa jumlah pasti penumpangnya) terbatuk-batuk di atas tumpukan batu-batu.

Jalan panjang penuh sobekan itu tampak sepi. Di tengah perjalanan memang harus banyak berhenti karena pada setiap sobekan yang menganga, setiap penumpang, termasuk saya, harus menarik napas panjang sembari memanjat doa kepada Tuhan agar tidak terjadi apa-apa.

Kepada siapa lagi kami harus harus mengadu, jika kepada para pembuat kebijakan tidak berpaling? Mungkin sudah berulang masyarakat jalur utara Flores meminta, tetapi mau apa dikata, alasannya yang dikemukakan para pembuat kebijakan pasti lazimnya begini: ”belum banyak pengguna jalan, jadi tidak terlalu mendesak jalan di jalur pantai utara dikerjakan”. Sementara itu alasan para pemilik kendaraan dan juga para pengguna jalan ”Bagaimana kami mau melewati jalan ini, dengan kondisi jalan seperti ini, kami tidak berani mengambil resiko”

Tunggu, saling menunggu. Harap, saling berharap. Yang terjadi akhirnya adalah jalan di jalur pantai utara pulau Flores akan semakin memprihatinkan. Menurut hemat saya, pemerintah seharusnya mengambil langkah untuk itu. Tidak harus menunggu banyakknya pengguna jalan. Karena seperti lazimnya, ketika jalur darat itu dibenahi, bukan tidak mungkin para pengguna jalan akan perlahan-lahan meningkat. Namun, jika pemerintah memilih pasif dan menunggu, adalah baik jika pemerintahlah yang digusur.

Uph…melintasi utara, melewati tiga kabupaten: Nagekeo, Ende dan Sikka, kata pak sopir, biasanya empat jam. Tapi hari itu saya harus menempuh delapan jam perjalanan. Saya dan para penumpang yang lain harus memaklumi banyak hal, tetapi satu kalimat yang sering terlontar adalah ”Jalannya koq bisa rusak begini?” Dalam hati kecil, saya pun bertanya-tanya: ini pertanyaan atau keluhan? Kepada siapa kita harus mengeluh, jika tidak ada tempat yang bisa mendengarkan setiap keluhan?

Oh…tiba-tiba, pada sebuah tanjakan kami berpapasan dengan sebuah bus. Ya…hanya sebuah Sinar Rembulan yang terombang-ambing melintasi sobekan-sobekan jalan. Lika-liku jalur utara Aesesa-Sikka penuh pilu. Membuat semua angkutan darat kecut melewatinya. Hanya yang ingin hidup penuh tahan banting, dan berjiwa besar menanggung nasib yang berani melewati jalur utara. Dari wajah seorang penumpang yang selalu tampak cemas, terbaca sebuah kegusaran yang berbalut doa: Tuhan berilah kami rezeki pada hari ini berupa jalan beraspal.

Mata saya perih. Memperhatikan wajah gusar itu membuat saya gundah dan juga sedih. Kegundahan saya tidak hanya selebar dan sepanjang jalan. Kesedihan saya tentang Flores tidak hanya selama delapan jam perjalanan. Tanah lapang melengkung luas. Meluas hamparan padang savana tanpa gubuk terjaga. Andai ada yang menuliskan tentang kehidupan, dengan bertani dan atau berladang, tidak mungkin banyak sahabat dan saudara saya di Flores pergi jauh ke pedalaman Kalimantan, Jawa dan Sulawesi untuk mencari nafkah. Pertanyaan kebingungan itu terlontar ”Mengapa pemerintah tidak membuat transmigrasi ke sini saja. Masyarakat dari selatan dipindahkan ke utara?

Ehm….menarik juga ide penumpang muda ini. Rupanya dia mahasiswa yang kritis. Tapi mau apa dikata. Saya berkelakar ”Rupa-rupanya pemerintah lebih suka mentransfer uang ketimbang mentrasfer orang. Mentransfer uang tidak perlu berisik, tidak perlu banyak tanya. Cukup tahu sama tahu. Sementara transfer orang, yang biasa disebut transmigrasi biayanya mahal dan mahal pula tetek bengeknya.” dia terkekeh mendengarnya. Saya pun demikian.

”Oh indah sekali” kata seorang penumpang yang lain. Wajahnya jelita, sepertinya bukan orang Flores, tapi jika ya, pasti sudah sekian lama meninggalkan Flores. Saya berpaling, melempar pandang ke luar jendela. What? Ladang-ladang seperti tak lelah mengepul debu. Cangkul pun tak gontai menggebu. Di sawah sawah batu. Lengan penuh peluh, ngilu. Dengan perut layu, anak anak menunggu, mengemut batang umbi kayu, sambil menunggu maut di setiap ujung senja. Mungkin, esok hari pada halaman koran yang selalu saya baca selama liburan ketika itu, dengan bangga akan ada suara yang terlontar ”Angka kemiskinan menurun”.

Dalam hati kecil, saya kesal bukan kepalang dengan komentar penumpang jelita itu. Mengapa kesengsaraan dan keganasan kehidupan disebutnya sebagai sesuatu yang indah? Mengapa sesuatu yang tidak diperhatikan pemerintah dengan serius dianggap sebagai panorama indah? Andai saja dia pergi ke balik gubuk di seberang bukit itu, mungkin dia akan terperanjat ketika harus menyaksikan seorang ibu tua dan cucunya kelaparan.

Akhirnya tiba juga setelah menempuh delapan jam perjalanan. Belum lama beristirahat. Seorang kawan datang menjumpa. Dalam keadaan lelah saya mengisahkan tentang pengalaman perjalanan, tetapi tanggapannya seperti menista ”Angka kemiskinan sudah menurun” demikian kata kawanku yang setiap hari berkutat dengan data.

Dalam hati kecil, saya mengumpat, hendak pula tumpah amarah dengan menamparnya. Ya Tuhan…untuk siapa kawanku ini bekerja? Kemiskinan bukan hanya soal angka. Kemiskinan juga adalah soal manusia dengan kebiasaan, adat dan budaya. Angka-angka bisa dibuat, dikurangi dan ditambah. Tetapi manusia dengan segala kebiasaan, adat dan budayanya perlu pula dicermati. ”Sepanjang jalan perubahan tidak dibenahi, sepanjang itu pula kemiskinan mengintai kita. Kau mungkin tidak tahu apa yang ada di ujung jalan itu, jika kerjamu selalu serupa itu. Di ujung jalan itu ada kematian”