Tujuan utama Taufiq Ismail mendirikan RUMAH PUISI-nya adalah memperkenalkan kasya sastra kepada para murid dan pelajar, generasi muda/penerus bangsa melalui kegiatan membaca dan menulis sastra. “Kecintaan membaca buku dalam bidang apapun, secara awal ditumbuhkan melalui kecintaan membaca karya sastra. Demikianlah pembibitan awal kebiasaan membaca dilakukan di seluruh dunia yan beradab. Latihan menulis yang terus menerus dapat mengantarkan siswa menulis karya sastra, kalau dia berminat, tetapi kalau tidak, dia akan memiliki kemampuan menulis secara umum”

“Dia akan menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing. Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, kepala direktorat, pakar agronomi, komandan resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu rumah tangga dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisasinya masing-masing”

Apa yang dicita-citakan Taufik Ismail bukan pertama-tama menjadikan siswa penyair atau sastrawan. Menurutnya, itu bukan yang terpenting. Peningkatan budaya baca buku dan kemampuan menulis anak bangsa, itu yang menjadi tujuan utama.m Apa yang dimulai Taufik Ismail sangat tepat dan dengan tepat pula menjawab persoalan substansial dilema pendidikan bahasa dan sastra di tanah air. Mengapa tidak, pendidikan bahasa dan sastra tidak hanya ‘di-anaktiri-kan’ dalam proses pendidikan, tetapi juga kelaziman (budaya) membaca dan menulis yang merupakan elemen vital pendidikan nyaris hilang diterjang oleh kepadatan kurikulum, kegiatan sekolah yang menumpuk, fasilitas perpustakaan yang tidak memadai, serta minimnya kehadiran guru atau tenaga pengajar yang mumpuni dalam bidangnya.

Jika pun ada kegiatan membaca dan menulis dalam proses pendidikan, baik di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas, kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk membaca dan menulis itu sendiri. Kegiatan membaca dan menulis hanya diwajibkan untuk mendukung berbagai pelajaran yang lain. Membaca dan menulis dengan demikian diletakkan sebagai faktor sekunder dalam proses pendidikan. Tidak lebih.

Berangkat dari latar penjelasan di atas, menurut hemat saya terdapat dua seruan penting yang pantas dikemukakan dalam catatan ini. Pertama, jangan anak-tirikan kegiatan membaca dan menulis sastra di ruang kelas merupakan seruan yang relevan untuk situasi pendidikan kita saat ini. Hal ini dimaksudkan supaya karya sastra tidak sekedar pelengkap kurikulum yang selanjutnya mewajibkan para murid dan pelajar menghafalnya. Tetapi lebih dari itu membantu para murid dan pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa untuk terus menghidupkan dan menumbuhkembangkan, tidak hanya bahasa tetapi juga pesan-pesan kehidupan yang terkandung di dalamnya.

Kedua, sastra harus lebih berani dan terbuka untuk terlibat dan melibatkan diri di tengah realitas kehidupan anak-anak dan remaja. Karya sastra dan atau kegiatan sastra lainnya harus dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi kebutuhan sekaligus kesenangan kaum muda dan anak-anak. Hal ini pulalah yang menjadi perhatian serius salah seorang sastrawan kita, Martin Aleida. Menurut Aleida sebagian besar karya sastra di Indonesia masih berada di wilayah orang dewasa. Belum banyak karya sastra yang ditulis kembali dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak atau remaja, seperti dilakukan di luar negeri.

Catatan Pembanding

PDS HB JASSIN

Sastra Penting bagi Peradaban Bangsa

Jakarta, Kompas – Terabaikannya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin merupakan cermin kemerosotan budaya literasi di Tanah Air, yang berdampak pada minimnya apresiasi terhadap karya sastra. Padahal, sastra punya peran penting dalam membentuk peradaban bangsa.

”Membiarkan pusat dokumentasi sastra terbengkalai memperlihatkan hancurnya peradaban kita,” kata Martin Aleida, sastrawan yang produktif menulis cerpen dan buku, Rabu (23/3). Ia menilai para penentu kebijakan mengabaikan PDS HB Jassin karena mereka tidak memiliki budaya literasi yang kuat sehingga tidak menganggap pusat dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia itu sebagai sesuatu yang penting.

Karena kekurangan dana, pengelola PDS HB Jassin berencana menutup pusat dokumentasi yang didirikan pada 1977 itu. Puluhan ribu koleksi karya sastra dan dokumentasi yang terkait dengan sastra terancam rusak.

Peran sastra membangun peradaban bangsa sangat penting. Melalui karya sastra, ujar Martin, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Kearifan lokal inilah yang membentuk jati diri bangsa Indonesia.

Menurut Martin, pengabaian sastra berakar dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia yang hanya memasukkan sastra sebagai bahan bacaan untuk dihafal jalan ceritanya, tidak untuk diapresiasi. Siswa membaca karya sastra melalui sinopsis yang dibuat guru. Siswa mengerti garis besar cerita, tetapi tidak mampu memahami nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh penulis.

Hal ini terjadi karena sebagian besar karya sastra di Indonesia masih berada di wilayah orang dewasa. Belum banyak karya sastra yang ditulis kembali dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak atau remaja, seperti dilakukan di luar negeri.

Penulis sekaligus penyair Nirwan Dewanto mengatakan, melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan ”bermain” dengan bahasanya. ”Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju,” tutur Nirwan.

Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, menurut dia, harus terus dilakukan, tidak hanya bergerak ketika sudah ada kasus seperti PDS HB Jassin. Untuk menyelamatkan PDS HB Jassin dan pusat-pusat dokumentasi lain, Nirwan melihat perlunya upaya dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Agar pihak swasta mau terlibat, pemerintah perlu mendorong dengan memberikan insentif, seperti keringanan pajak.

Terabaikannya pusat dokumentasi dan perpustakaan di Indonesia, menurut Ninis Agustini, dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, karena orang enggan memanfaatkannya akibat minimnya informasi tentang buku atau dokumen yang dicari.

Hal ini terjadi karena pusat dokumentasi dan perpustakaan belum ditangani oleh ahli yang tepat. Masih ada pemahaman bahwa pustakawan hanya sekadar penjaga buku. ”Seorang pustakawan selain bertanggung jawab atas pengelolaan koleksi juga harus bisa menjadi konsultan bagi pengunjung yang ingin mengakses koleksi,” kata Ninis. Di beberapa negara maju, pustakawan untuk tingkat sekolah saja harus berpendidikan minimal magister bidang perpustakaan. (IND/BSW)

Sumber:

http://cetak.kompas.com/read/2011/03/24/03295420/sastra.penting.bagi.peradaban.bangsa

“Mengapa tidak, pendidikan bahasa dan sastra tidak hanya ‘di-anaktiri-kan’ dalam proses pendidikan, tetapi juga kelaziman (budaya) membaca dan menulis yang merupakan elemen vital pendidikan nyaris hilang diterjang oleh kepadatan kurikulum, kegiatan sekolah yang menumpuk, fasilitas perpustakaan yang tidak memadai, serta minimnya kehadiran guru atau tenaga pengajar yang mumpuni dalam bidangnya”