Ke ujung jalan itu, dekat mesjid yang bersebelahan dengan gereja, kami berjalan bergandengan tangan. Jari-jari kami saling mengunci. Bilah tapak tangan kami saling genggam. Seperti tak akan terpisahkan, seperti tak akan terpatahkan. Walau di ujung jalan itu, setelah kami tetapkan hati, semuanya mungkin bisa akan berubah.

***

Di ujung jalan itu, ketika aku hendak menuju pintu mesjid dan ia menuju pintu gereja, genggaman tangan kami lepas perlahan, walau terasa berat. “Aku akan bersimpuh di bawah kubah” kataku. “Di depan tabernakel aku akan meminta restu” katanya. “Di atas sajadah akan kutumpahkan rasa” kataku lagi. “Dalam tunduk yang khusuk aku akan curahkan semua” katanya lagi. Lalu kami berpisah.

Dalam rasa genggaman kami masih terasa hangat. Masih kurasa sapa tapaknya, senyum jermarinya. Namun entah mengapa, kami berpaling bersamaan. Mata kami saling pandang. Dalam jarak yang seperti sejengkal. Oh Tuhan…!

Pandangan kami jauh lebih menyapa dari kedua tapak tangan, jauh lebih tersentuh dari sentuhan jari-jari terkunci. Desah napasnya, bau tubuhnya, senyum sapanya, lentik matanya serupa tak berjarak. Kami seperti sudah sedang bersatu, suluk dalam satu kata ‘cinta’.

Dalam kalut, dalam harap aku hanya bisa berdoa “Ya Allah, apakah cinta harus meliku begitu pelik, sampai aku harus tunduk pada kitab suci-Mu”. Dari kejauhan, di antara tangga-tangga gereja, ia meneteskan air mata. Seperti sebuah pertanda, bahwa memang cinta tidak lebih dasyat dari sebuah lingkup keyakinan.

***

Aku tak yakin kami saling doa. Di bawah kubah, di atas sajadah aku tak kuat panjatkan harap, tumpahkah rasa. Melintang dalam benak dan bayang, dalam rasa dan senyap kalbu hanya tentang air matanya. Air mata pengharapan, air mata cinta. Demikain juga dia. Sepertinya dia tidak sedang berdoa. Mungkin di depan taberkanel dia hanya mengumpat “Tuhan, harus serupa itukah jika aku jatuh cinta, haruskah Kau yang menentukan pula”. Kutahu dia larut dalam kalut, seperti aku yang membiarkan doa dan harap menggelantung berayun-ayun.

Dalam waktu yang sekian, kami sudahi harap dan doa. Perlahan kuberanjak ke luar menuju pintu mesjid. Di sana, di depan pintu gereja aku melihat dia telah menunggu. Mengejutkanku, ia menungguku dengan senyum mekar, dengan mata berbinar, dengan kedua tapak tangan memanggil.

“Aku sudah menemukan jawaban” katanya sambil perlahan mendekat. “Bahwa memang engkaulah cintaku, engkaulah kekasihku, engkaulah tumpuan dan harapanku. Tapi semuanya akan terjadi pada ketika kita sudah berada dalam dunia yang sesungguhnya”.

Seperti ditimpa lelah yang panjang, aku jatuh menumbuk anak tangga. Aku tak kuasa melepas kata. Dalam mata yang berkaca-kaca aku hanya berulang serukan istiqfar “astafirulazim…astafirulazim…astafirulazim…”

***

Semuanya berubah. Jawaban yang terlalu singkat untuk sebuah perjalanan perjumpaan rasa yang panjang. Berlarut dalam tahun-tahun yang panjang, pada kami bersama kisahkan rasa. Namun semuanya sudah. Semuanya tuntas di depan pintu keyakinan, di antara anak-anak tangga kepercayaan, di ujung jalan yang jauh lebih sepi dan senyap kubah mesjid dan sepi menara gereja.