Apakah itu jurnalisme damai? Mengapa menjadi penting untuk didiskusikan? Relevankah jurnalisme damai diterapkan di Indonesia? Bagaimana dan kepada siapa jurnalisme damai harus dialir-tularkan? Empat pertanyaan ini adalah pertanyaan kunci dalam tulisan ini. Sederatan pertanyaan ini lahir bukan lantaran metode dan bentuk jurnalisme yang lain, salah satunya seperti yang saya sebut sebagai jurnalisme ‘mirip seperti’ tidak penting. Tetapi fakta di lapangan, situasi sosial dan lingkungan di sekitar kita mendesak saya secara personal untuk harus mengatakan bahwa jurnalisme damai itu penting dan perlu.

Suko Widodo  dalam tulisannya yang berjudul  ‘Prinsip Kerja Jurnalisme Damai’ mengelaborasi tentang jurnalisme damai secara panjang lebar.  Widodo mencatat bahwa jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri bagi masyarakat. Dan ruhnya adalah mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat (people oriented).

Jurnalisme damai bukan barang baru. Pendekatan kerja jurnalis ini digagas oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, pada 1970-an. Galtung merasa “miris” melihat pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistiknya secara hitam putih: kalah-menang. Pola kerja jurnalistik seperti ini dia sebut sebagai jurnalisme perang. Jurnalisme perang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material. Pola seperti ini juga yang banyak dianut infotaiment, yang lebih suka mendasarkan kerjanya pada konflik rumah tangga selebritis.

“Demi kepentingan penguatan sumber daya manusia generasi muda dan pembangunan akhlak mereka, maka seharusnya kerjasama antara media massa dengan sekolah harus menitikberatkan pada idelisme bukan pada bisnis”

Berangkat dari batasan di atas dengan berkaca pada situasi sosial masyarakat kita, di mana muncul situasi yang kian runyam oleh karena tawuran antara geng, perang batu antar sekolah, konflik sosial, agama, pertentangan kelas sosial, media massa yang responsive dan provokatif, membuat saya sejenak tertegun, lantas mengajukan alternative ini. Bahwa jurnalisme damai itu penting dan mendesak untuk dialir-tularkan kepada public. Public harus diberi pemahaman tentang, bukan hanya hakikat media massa bagi mereka, tetapi juga yang terutama adalah bagaimana media massa bisa hadir sebagai sang ‘pembawa damai’.

Siapa public pembaca yang saya maksud? Mereka adalah generasi muda, golongan para siswa atau pelajar sekolah menengah pertama (SMP/SLTP) dan menengah atas dan sederajat (SMA/SMU/sederajat). Mengapa harus mereka dan bukan yang lain? Karena 1) mereka tidak hanya bisa membaca dan menulis dengan baik, 2) mereka sudah melewati proses pendidikan dasar, 3) mempunyai kemampuan untuk menyerap berbabagi ilmu pengetahuan, termasuk di antaranya adalah berbagai ‘keingintahuan’, 4) secara psikologis masih labil dan masih ‘patuh’ pada ‘hukum kesenangan’ ketimbang pada kebutuhan. 5) hanya pada jenjang pendidikan mereka yang terdapat ekstrakurikuler yang bisa memungkinkan untuk dialir-tularkan tentang jurnalisme damai.

Memetakan lima peluang di atas dalam kerangka umum kurikulum pendidikan jurnalisme damai, selanjutnya didukung dengan kemauan semua pihak secara khusus, sekolah, media massa dan pemerintah, maka kampanye ‘koran masuk sekolah/media massa masuk sekolah’ tidak bersifat minimalis, dengan hanya sekedar kerjasama sekolah dan media massa untuk membangun budaya membaca dan menulis. Tetapi lebih dari itu adalah memampukan pelajar dan siswa untuk ‘membaca dan menulis’ tentang nilai-nilai perdamaian secara universal. Demi kepentingan penguatan sumber daya manusia generasi muda dan pembangunan akhlak mereka, maka seharusnya kerjasama antara media massa dengan sekolah harus menitikberatkan pada idelisme bukan pada bisnis.

Masukan paling sederhana, selain seperti yang sudah saya sebutkan di atas melalui pengembangan kurikulum pendidikan jurnalisme damai dan  memberi jam belajar untuk itu dalam kesempatan ekstrakurikuler, saya menawarkan alternative yang lebih mudah, yakni maksimalisasi majalah dinding sekolah untuk mempublikasikan berbagai karya kreatif yang berorientasi pada perdamaian. Dukungan dari sekolah adalah yang pertama dan utama, media massa hendaknya memfasilitasi peroses kreatif ini, selanjutnya pemerintah harus memberi ruang yang maksimal. Barangkali anjuran ini terlalu sederhana dan terkesan biasa-biasa saja, tetapi saya masih percaya segala sesuatu yang dilakukan dengan niat yang tulus dan demi pembangunan manusia yang bermartabat, segala karya dan upaya akan melahirkan buah.

Catatan sumber:

https://krisdasomerpes.wordpress.com/2010/11/22/jurnalisme-mirip-seperti/

http://rumakom.wordpress.com/2008/01/19/prinsip-kerja-jurnalisme-damai/