Tais Timor NTT/John Pluto SinulinggaTenun ikat dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam beragam bentuk dan motif kian berkibar di pentas Nasional dan Internasional. Dalam berbagai kesempatan fashion show dan atau pegelaran fashion dan mode beragam desain dan motif tenun ikat NTT diikutsertakan oleh desainer tanah air. Salah satu diantaranya adalah seperti yang dilakukan desainer Oscar Lawalata pada 8-15 Mei lalu. Dalam Dysfashional 6 yang melibatkan desainer mancanegara, bertempat di Galeri Nasional Jakarta itu, Oscar Lawalata menampilkan Sembilan kursi kayu yang semuanya di-desain dengan motif tenun ikat NTT seperti Timor, Sumba, Sabu dan Alor.

 “Pesannya adalah edukasi. Pendidikan mengenai budaya tidak didapatkan anak sejak kecil. Kursi sekolah melambangkan suasana kelas. Sementara motif tenun ikat pada kursi sekolah ini bermakna pendidikan budaya harus diajarkan sejak dini. Budaya, tradisi dan tarian harus diajarkan ke generasi muda. Makna lainnya adalah profesi kreatif juga perlu dikenalkan agar tidak punah, termasuk penenun kain ikat NTT ini. Anak perlu diajarkan untuk bekerja, dalam bidang apa pun, dengan mengangkat budaya Indonesia. Termasuk memberikan pilihan di bisnis kreatif” Jelas Lawalata seperti dilansir Kompas Famale Sabtu (7/5/2011)

Apa yang sudah dilakukan Lawalata merupakan jawaban atas kecemasannya dan juga (saya kira) kecemasan warga bangsa ini, secara khusus warga masyarakat NTT akan potensi budaya, tradisi yang secara perlahan mulai diabaikan dan ditinggalkan oleh generasi muda. Kecemasan itu beralasan lantaran di tengah pusaran arus waktu, ‘pasar ‘ sudah sedang menawarkan aneka pesona, yang di satu sisi menarik setiap generasi muda untuk memilih ‘gaya gaul nir makna’ namun di sisi lain menyadarkan selalu akan pentingnya jati diri dan atau identitas diri sebagai bangsa yang sesungguhnya khas dan unik.

Lawalata sudah menawarkan solusi menarik dan cerdas yakni ‘memasukkan tenun ikat ke dalam ruang kelas’. Sembilan kursi yang ditampilkan Lawalata dalam Dysfashional 6 di Jakarta baru lalu adalah baik dilanjut-teruskan oleh  masyarakat bangsa ini, secara khusus masyarakat dan pemerintah NTT dalam upaya memperkenalkan budaya, tradisi dan sejarah kepada generasi muda. Adalah baik pula, jika bukan hanya kurikulum pendidikan muatan local NTT yang memperkenalkan itu secara teoretis, tetapi juga memperkenalkannya dalam beragam atribut yang menyapa.

Sebagai misal: Pada setiap hari sabtu, seluruh sekolah di NTT dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi wajib mengenakan seragam sekolah dengan motif kain tenun ikat dari masing-masing daerah yang tersebar di tiga pulau besar (Flores, Sumba, Timor) di NTT. Bila perlu semua tas sekolah, sampul buku tulis, pensil dan balpoin, mistar, sarung handphone, sepatu, topi (tentu saja tidak termasuk pakaian dalam) diwajibkan untuk ber-motif tenun ikat NTT.

Lebay…tentu saja harus ada pemikiran yang lebay serupa ini. Dan hal ini tidak akan menjadi sesuatu yang lebay jika dan hanya jika dijadikan sebagai suatu gerakan bersama dan (dengan) didukung penuh oleh segenap elemen masyarakat adat dan pemerintah daerah NTT. Mengapa hal yang lebay ini saya optimis bisa dilakukan di NTT, jawaban tunggal karena kita masyarakat NTT harus selalu menegaskan siapa kita sebenarnya: ‘siapa dan bagaimana saya orang NTT’ di tengah pusaran arus waktu.

Akhir kata, saya kira itulah catatan penting yang mau disampaikan  Oscar Lawalata dalam dan melalui sembilan kursi kayu-nya. Jika pemerintah dan masyarakat adat NTT tidak mulai menindaklanjuti pesan itu, lalu siapa lagi. Dan selanjutnya jika bukan sekarang, lalu kapan lagi.