bocah bocah alamLiburan sekolah telah tiba, tapi sebagian besar anak-anak di empat desa di Beutung Ateuh, yakni desa Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak tidak ke mana-mana. Sepanjang hari-bari liburan itu, mereka habiskan di lembah nan elok itu. Kenyamanan, ketenteraman, keindahan dan kedamaian tanah kelahiran mereka sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka betah.

Kisah yang akan saya ungkapkan ini tidak hanya melukiskan keseharian anak-anak di Beutung Ateuh sepanjang keseharian liburan mereka. Lebih dari itu, saya mau melukiskan sekaligus memaknai setiap aktivitas mereka dalam setiap peristiwa, kebiasaan dan permainan mereka. Bahwa apa pun yang mereka lakukan dalam rutinitas mereka sebagai anak-anak dalam setiap permaianan dan kegembiaraan menyembul sebuah makna tentang kedekatan antara alam dan manusia.

Saya mengawali kisah ini dari sebuah petang dalam perjumpaan saya dengan empat bocah. Di ujung jembatan yang menghubungkan desa Blang Meurandeh dan Babak Suak saya menyaksikan empat bocah mendorong sepeda. Saya merekam keceriaan mereka. Dari balik kamera terpendar-pendar kedamaian. Laju sepeda yang lelah karena ban yang nyaris terlepas tidak mereka pedulikan. Tiba-tiba, sepeda yang gontai itu terjungkal keluar dari jalan lantas melejit lepas terpeleset ke sawah. Dua bocah yang lain terpingkal-pingkal menahan tawa menyaksikan dua kawan mereka terjerembab di antara bibit padi. Sementara dari balik lumpur kedua bocah yang malang menyembulkan wajah sumringah manampakkan barisan gigi putih. Keduanya pun terkekeh-kekeh sambil membersihkan wajah yang belepotan karena lumpur.

”Anak-anak di sini sudah biasa” kata salah seorang kawan yang juga santri. Dari balik dada yang paling dalam, saya mengagumi kebiasaan itu. Kedekatan antara alam dan manusia yang membuat semuanya menjadi bersahabat. Alam selalu ramah kepada siapa pun selain selalu memberikan kesuburan, selama manusia mencintainya dengan tulus.

Sehari sesudah petang itu, mata saya diajak sekelompok bocah desa Blang Meurandeh yang sedang menjaring ikan. Yang seorang tanpa lelah menyusuri sungai Beutung dari depan dayah Babul Mukarammah sampai tanjungan tempat saya menginap. Dua bocah yang lain mengikutinya membawa kantong plastik berisi anak-anak ikan.

”Terus diapakan ikan-ikan itu setelah ditangkap” saya mencoba melempar dengan tanya. Seorang bocah yang memegang kantong plastik tidak menjawab. Namun, sambil menggelengkan kepala dia membuka kantong plastik dan membiarkan anak-anak ikan itu kembali ke habitatnya. ”Kami lepas lagi, ini hanya main-main” jawab bocah yang lain sambil memperhatikan ikan-ikan itu menghilang ke balik batu.

Saya terperanjat menyaksikan peristiwa itu. Mengapa tidak? Ini bukan bentuk permaianan anak yang biasa. Permainan anak serupa ini tidak pernah saya temukan dimana pun selain di Beutung Ateuh. Mereka manangkap anak-anak ikan, kemudian melepaskan lagi sambil melompat-lompat dengan gembira. Apa makna permainan dan kegembiraan mereka? Tanya saya dalam hati.

Lagi-lagi antara alam dan manusia begitu dekat dan bersahabat. Kedekatan dan persahabatan yang sedemikian akrab itu tidak saling meniadakan, justru sebaliknya membuat keduanya semakin ingin mengutarakan rahasia. Saya dapat melukiskan makna itu seperti ini: ”Anak-anak ingin memperhatikan dengan saksama kehidupan anak-anak ikan yang sesungguhnya. Dan alam melalui anak-anak ikan kecil itu menyaksikan sebentar tentang kehidupan dunia luar. Sapa menyapa itu hanya bisa terjawab jika kita memaklumi alam sebagai bagian dari kehidupan yang dianugerahi Allah”

Sore hari ketiga, sehari sebelum saya kembali ke Meulaboh Aceh Barat, saya menyaksikan lima bocah mandikan diri dengan riang di bagian sungai yang agak dalam tepat di depan pasantren Babul Mukarammah. Sementara wajah sungai sore hari itu tampak kelabu dan arus menderu keras. Airnya bercampur lumpur karena hujan di gunung telah menggerus  pinggiran berlumpur. Dan arusnya pun membawa serta potongan-potongan kayu.

Tapi kelima bocah itu seperti tanpa takut terus melompat dan mencebur.  Seorang santri yang memperhatikan ke-bengong-an saya  datang mendekat ”sekotor-kotornya air sungai itu, kami tidak kena penyakit kulit”. Tampa membantah saya memaklumi semuanya. Di balik kalimat santri lagi-lagi tersirat sebuah makna dari sebuah persahabatan dan kedekatan antara alam dan manusia.

Alam adalah sahabat yang paling setia bagi segenap penduduk di Beutung Ateuh, khususnya bagi anak-anak. Kedekatannya terasa dalam keharmonisannya, kesenyapannya dan kedamaiannya. Tidak ada yang mengusik ketentraman Beutung Ateuh selain suara tawa bocah-bocah alam, suara kendaraan yang tidak seberapa, serta kumandang adzan pada setiap senja dari balik kubah mushola dan meunasah.