Sulit bagiku untuk mendefinisikan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ‘gila’, apalagi ketika ‘gila’ yang dimaksud adalah orang. Orang gila. Dalam Wikipeda Indonesia disebutkan gila (Inggris: insanity atau madness), adalah istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah. Secara historis, konsep ini telah digunakan dalam berbagai cara. Di lingkungan dunia medis lebih sering digunakan istilah gangguan jiwa.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa gila atau ke-gila-an sebagai hilangnya suatu pikiran dikarenakan penyebabnya oleh stres atau ada masalah pribadi yg dialami oleh seseorang yang tidak waras tersebut. (Hal ini) Yang mengakibatkan pikiran yang tidak terkendali dan akhirnya menjadi berpikiran tidak waras, berperilaku aneh (tak wajar layaknya manusia biasa). (http://id.wikipedia.org/wiki/Gila).

Namun bagiku, definisi di atas tidak terlalu memuaskan. Bukan karena tidak komprehensif lantaran terlalu umum, tetapi lebih karena pengalaman perjumpaanku dengan sesuatu yang disebut gila pada orang-orang yang disebut ‘gila’. Dalam perjumpaanku dengan mereka, aku akhirnya menjadi sangsi dengan semua definisi tentang itu. Pernah aku berjumpa dengan seorang lelaki. Dia orang normal, cerdas dan selalu berdandan rapi. Tetapi dalam diskusi dia selalu membanggakan dirinya sebagai orang paling gila. “Gila gak gue, dalam waktu sekejap gue raup lima belas juta” katanya. Pada kesempatan lain, “Gila gak gue, gini-gini gue pernah tidur di kuburan”.

Orang gila yang lain. Di jantung kota Pontianak pada pertengahan 2006, aku berjumpa dengan seorang gadis, yang juga (kebetulan kata orang di sekitarnya) menyebutnya sebagai orang gila. Kepada siapa pun dan dengan siapa pun dia selalu tersenyum. Senyumnya ramah, sungguh menawan, barisan gigi putihnya tampak elok dipandang. Siapa pun yang berpapasan dengan gadis peranakan Dayak ini, sudah pasti akan sangat sulit menolak membalas senyumannya. Siapa pun pasti nyeletuk ‘wah cewek cantik senyum ama ague”, tetapi setelah mengetahui kalau yang tersnyum kepadamu adalah orang gila, maka celetukanmu akan berubah dengan sidikit mengenyit dahi “wah, kenapa orang cantik begini bisa gila?”

Namun, dari sekian banyak orang gila yang kujumpai, ada dua ‘orang gila’ yang menurutku paling berkesan. Pertama, aku bertemu dengan seorang lelaki lima puluhan tahun yang biasa dipanggil Lud. Tubuhnku kurus, kulitnya hitam. Penampakan wajahnya lusuh, demikian juga dandanannya. Lantaran itu, warga gang Penggalang Matraman Jakarta Timur, menyebutnya sebagai orang ‘gila’. Namun, aku menjadi sangsi dengan sebutan itu, lantaran perilaku dan karakter Lud yang justru lebih waras dan sadar dari manusia yang disebut normal. Setiap hari, tanpa alpa, dia membersihkan taman dan menyiram bunga di sepanjang gang Penggalang. Tanaman yang mati digantinya dengan yang baru. Dia tidak membiarkan sehari pun bunga-bunga itu kerontang.

Dalam artian mana dia disebut sebagai orang gila? Jika disebut sebagai orang gila, mengapa Lud menjadi lebih peduli pada lingkungan dan kehidupan. Lud lebih sadar untuk terlibat dan melibatkan diri pada keindahan. Pantaskah kita menyebut manusia yang peduli pada lingkungan sekitar kita sebut sebagai orang gila hanya karena ‘mungkin’ wajahnya lusuh dan dandanannya yang menjijikkan?

Kedua, aku bertemu dengan seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun. Mus, demikian dia biasa dipanggil, di lingkungan Beutong Ateuh Nagan raya Nanggore Aceh Darusallam. Pria kelahiran Leuksemawe ini terdampar di Beutong Ateuh lantaran diserahkan orang tuanya agar dapat menjadi santri pada Pasantren Babul Mukarammah. Tujuannya cuma satu, agar dengan menenangkan diri dan selalu dekat dengan Allah, Mus bisa sembuh dari gangguan jiwa.

Bagiku, Mus bukan orang gila, tetapi orang unik dank has hanya saja berlagak gila. Suatu ketika dalam keadaan terpasung, dia memanggilku mendekat. Dalam jarak sekian senti meter, dia membisikkan sesuatu di telinga yang mebuatku terperanjat. “Mengapa saya dipasung, padahal saya tidak gila, yang gila adalah jiwa saya”. Aku mundur beberapa langkah, lalu mengamatinya dengan saksama. Dalam hati menyembul-nyembul aneka tanya. Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa dia mengatakan dirinya tidak gila? Apakah benar bukan dirinya yang dipasung? Apakah ada orang gila yang sesadar seperti Mus? Jangan-jangan hantu?

Lebih mengejutkan, pada akhir April 2010, ketika aku kembali ke Beutoh Ateuh, aku tidak menemukan Mus lagi. Di sana hanya ditemukan sepatu sebelah kiri yang dipasung. Aku menjadi penasaran, siapa gerangan yang memasung sepatu tersebut. Aku pun mencobai menjumpai Mus. Di sebuah kedai kopi desa Blang Puuk, aku menemukannya sedang makan. Melihatku dia tersenuym “saya bosan hidup, maka saya makan” demikian katanya.

Aku pun tertawa geli. Jika memang hendak mati, mengapa harus makan. Sulit bagiku untuk menyebut Mus sebagai orang gila, sebab mungkin saja Mus punya argumentasi tersendiri yang sulit untuk dibantahkan. “Mus, koq Cuma tinggal sepatunya di di Tanjungan?” Tanyaku ingin tahu. “Oh, memang bukan saya yang gila, tetapi sepatu itu, maka saya pasung dia”. Jelas Mus dengan mata berbinar-binar.

Sepatu? Sepatu yang gila? Mengapa Mus mengatakan kalau sepatu itu gila? Apakah aku sedang berhadapan dengan orang gila, atau sebenarnya aku sendiri yang gila? Mengapa orang yang disebut gila, selalu menjadi lebih kretaif dalam menjawab setiap pertanyaan dalam lalu lintas kehidupan ini, ketimbang manusia normal? Sampai-sampai aku sendiri terpekur berpikir, tentang gila, orang gila atau kegilaan adalah sesuatu yang cerdas, yang melampaui sesuatu yang dianggap atau disebut normal. Mungkin saja tentang gila, orang gila, atau kegialaan, adalah sesuatu yang lebih maju beberapa langkah di hadapan semua yang normal.

Tentang gila, orang gila atau kegialaan adalah bukan tidak waras. Bukan pula tidak normal apalagi didefinisikan sebagai bukan manusia. Mereka orang gila, atau sesuatu yang disebut sebagai sesuatu yang gila atau kegialaan adalah sesuatu atau sebuah ranah yang mau tidak mau harus kita masuki, jejaki dan salami kedalaman. Aku bahkan dengan ‘nakal’ berpikiran seperti itu. Semoga aku tidak sedang gila. Jika ‘ya’, maka aku bersykur, karena aku sudah memasuki wilayah itu dengan sadar.