Kebiasaan bahwa pelajar tugasnya adalah belajar di ruang kelas dengan setumpuk buku panduan berbagai mata pelajaran, diajarkan dan diberi tugas pekerjaan rumah, dijejali dengan pelajaran sore, selanjutnya memberi penilaian berdasarkan pilihan ganda pada kertas ujian, rupa-rupanya tidak hanya harus dievaluasi tetapi juga direfleksi dan diberi catatan kritis.

Bahwa sesungguhnya, sistem dan model belajar yang demikian bukan hanya menempatkan murid/siswa/pelajar pada sekedar ‘gentong air’ yang selalu harus diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga memosisikan mereka hanya sekedar sebagai ‘kepala’ tanpa ‘kaki dan tangan’.

Ukuran keberhasilan, patokan kecerdasan murid/siswa/pelajar lantas beranjak pada hasil ujian pilihan ganda. Dan (mungkin) juga soal essay yang dangkal eksplorasi. Sisi kemanusiaan seorang murid/siswa/pelajar, termasuk didalamnya sisi psikologis, humaniora, bakat dan talenta lantas diabaikan dan bukan menjadi prioritas proses dan arah pendidikan.

Murid/siswa/pelajar tidak hanya punya ‘kepala’ yang dituntut banyak dalam kurikulum pendidikan kita, tetapi juga mereka punya ‘kaki’ dan ‘tangan’ yang dapat terlibat dan melibatkan diri dalam dan di tengah lingkungan sosial mereka. Tidak salah sebagai seorang murid/siswa/pelajar diminta untuk tekun belajar berdasarkan kurikulum yang ada. Namun, jika hanya melulu sistem dan model pendidikan itu yang diprioritaskan, dan bahkan menjadi kebiasaan, maka sudah barang tentu bukan hanya akan terjadi ketimpangan dalam proses dan arah pendidikan, tetapi juga sejatinya mengabaikan hakikat pendidikan itu sendiri.

Ki Hadjar Dewantara menguraikan lima asas dan hakikat pendidikan dengan amat menarik. Pertama, asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat. Kedua, asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.

Ketiga, asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri). Keempat, asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain. Kelima, asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Berangkat dari asas di atas dengan berkaca pada fakta rupa-rupanya kita pantas berefleksi. Apakah sesungguhnya pendidikan? Ke manakah arah pendidikan kita? Dan bagaimana seharusnya kita mendidik dan dididik? Selanjutnya masih banyak pertanyaan turunan lain yang menyertainya. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak hanya dipahami tapi juga dilaksanakan dalam keseharian pendidikan kita. Agar pendidikan bukan menjadi ‘ladang penjagalan pengetahuan’ tetapi menjadi medan bagi murid/siswa/pelajar untuk semakin menjadi diri sendiri. Artinya memanfaatkan semua potensi, bakat dan kelebihan untuk dikembangkan, dan juga menyadari kekurangan, ketidakmampuan untuk dievaluasi dan diperbaharui. Dengan demikian ukuran dan patokan keberhasilan sebuah sistem dan metode pendidikan tidak lagi melulu pada kualitas isi ‘kepala’ murid/siswa/pelajar tetapi juga mencakup semua, meliput segala segi dan dimensi kemanusiaan mereka sebagai manusia.