Aku dibiarkan terlunta di kesendirian. Menjawab sejuta tanya di lautan kehidupan yang kian tidak menentu. Sebagai perempuan aku tersiksa. Sebagai perempuan aku terluka. Andai tidak ada janji yang diberikan pada ketika itu, mungkin aku menjadi perempuan yang tidak mengapa. Tetapi sejarah tidak dapat diulang. Tentang segala luka dan semua derita, terpaksa aku harus mencari penyembuhan. Dengan ikhlas aku mencoba untuk melupakan semua, walau sesungguhnya tentang segala kenangan masih membekas begitu indah dan jelas.

Aku bukan perempuan yang ditinggalkan. Hanya sepatah kata itu yang menyisahkan gembira dalam dadaku. Aku perempuan yang kuat. Hanya sepatah kata itu yang memberikan aku terang. Aku perempuan yang tegar. Hanya sepatah kata itu yang memberikan aku jalan keluar. Andai tidak, aku mungkin menjadi perempuan paling sial karena tidak dapat menjawab kepungan kegundahan.

Aku tidak akan pernah mengutukmu sebagai lelaki pecundang, karena telah melepaskan aku dengan sia-sia. Aku menyadari itu sungguh, bahwa pilihanmu bukan untukku. Aku bukan wanita terindah bagimu. Kendati dalam janjimu dulu, engkau mengatakan aku adalah mawar dalam kehidupanmu. Tapi, itu kisah yang dulu. Sekarang, semuanya sudah berubah, jadi debu.

Dengan tulus, aku telah memaafkanmu. Dengan ikhlas, aku pun menerima seluruh diriku sebagai perempuan yang berbahagia. Bahwa sesungguhnya aku bukan perempuan yang ditinggalkan, tetapi manusia bermartabat yang telah engkau tempatkan pada tempat yang benar. Aku mau menjadi diriku sendiri. Menjadi seperti yang kurindu, menjadi seperti yang kuimpi. Aku yang adalah aku.

Sudah sejak aku memaafkanmu, sudah sejak itu aku tidak pernah menangis. Aku tegar, bersedia pasrah menjadi ibu bagi yang terluka.

Sudah sejak aku memaafkanmu, sudah sejak itu aku tidak pernah menangis. Aku tegar, bersedia pasrah menjadi ibu bagi yang terluka. Aku menjadi bunda untuk itu, pada malam-malam yang sendiri, pada sunyi-sunyi yang ditinggalkan. Ya…seperti malam ini, ketika aku menyaksikan diriku sendiri terkulai bagai mawar layu yang bersandar pada pagar retak.

Tidak kepada siapa aku mengadu. Aku larut luluh dalam duka. Hanya kepada bulan aku melamentasi kisah-kisah. Aku melukiskan semua, menumpahkan segala, hingga aku benar-benar lupa kata, tanpa sadar terbuai dalam tidur malam yang panjang. Pada ketika itu, dalam mimpi yang tak terlupakan, aku mendengar bulan katakan makna air matanya.

Air mata bulan. Dalam sepi ia bercerita: “Belajarlah dari Matahari, sekalipun mendung menutupi lingkaran langit timur. Ia masih akan tetap bangkit memberi terang kepada kehidupan. Sengatan sinarnya kuat laksana api, tak ciut membelah kabut. Kita memang tidak seharus serupa itu, tetapi kita dapat belajar sepertinya”

“Belajarlah dari padaku, sebab aku menjadi serupamu. Aku diciptakan untuk menerangi malam. Sekalipun aku bergulat dengan gulita, kelembutanku masih bisa memberi kehidupan. Aku menampung banyak air mata, pada malam-malam yang sendiri. Aku mendengar banyak tangis, pada malam-malam yang sepi. Sesungguhnya tentang air mata adalah berlian paling indah bagi kesendirian. Jika kita memahami itu, niscaya kita akan tersnyum” Air mata bulan. Bulan mengisahkan itu. Air matanya jatuh, indah serupa berlian. Aku tersenyum.