Dalam sejarah filsafat barat Sokrates (470-399 SM) merupakan filsuf yang berpengaruh. Ajarannya yang terkenal adalah tentang pengenalan akan eudaimonia atau akan ‘yang baik’ yang bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan. Dan ini merupakan sebuah keutamaan. Meskipun Sokrates tidak mendirikan sekolah dan menciptakan mazhab, dalam perkembangan filsafat Yunani selanjutnya muncul dua kelompok yang mengaku mengikuti ajarannya. Dua kelompok tersebut adalah mazhab hedonis yang terkenal dengan ajaran hedonisme-nya, dan mazhab sinis yang terkenal dengan sinisme-nya. Hedonisme dengan tokohnya yang terkenal Aristippos (435-355 SM) menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari ‘yang baik’ atau kebahagiaan dengan kesenangan (hedone). Maksudnya kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Jadi anjuran untuk hidup ‘yang baik’ berkaitan erat dengan suatu kerangka pengertian rasional tentang kenikmatan baik secara emosional maupun badaniah. Sementara itu, Sinisme beranggapan bahwa manusia memiliki keutamaan bila rela melepaskan diri dari kesenangan duniawi. Diogenes dari Sinope (412-323 SM) misalnya rela hidup di dalam gentong (kolong jembatan) untuk menunjukkan sikap radikalnya melawan kenikmatan dan kehormatan. Simbol filsafat Diogenes adalah seekor anjing, yang dalam bahasa Yunani disebut Kyon. Dari kata ‘kyon’ kemudian di-Inggriskan menjadi cynic (sinis) atau cynicism (sinisme). Jadi secara etimologi (berdasarkan asal usul katanya) anjing sama dengan sinis sama dengan kyon. Menurut Diogenes anjing sangat tepat untuk dijadikan simbol filsafatnya, karena sangat dekat dengan hidup masyarakat sebagai hewan peliharaan. Kendati demikian keberadaan anjing bisa saja ‘menggonggong’ bahkan ‘menggigit’ siapapun. Hal yang sama dimaksudkan untuk sinismenya yang kadang tidak hanya menegur atau mengoreksi realitas, tapi bahkan lebih dari itu membongkar sebuah kemapanan.

Buat apa belajar filsafat? Pada zaman Yunani antik, filsafat lahir secara sederhana dan vulgar sebagai anjing yang selalu menggonggong dan menggigit penindasan yang didasarkan pada irasionalitas. Jika hari ini, di depan wajah para pecinta filsafat, penindasan yang irasional hadir dengan gegap-gempita, apakah masih layak filsafat hanya dipelajari demi gaya hidup, keren-isasi, pelepasan dari perut lapar dan pencapaian harga diri?. Demikian cuplikan profile grup ’Anjing Gila’ pada halaman facebook.

Lebih lanjut admin grup ’Anjing Gila’ meminta: ”Oleh karena itu, silakan tulis permenungan filosofis saudara-saudara” Aku tersintak. Bukankah sudah kau tanya untuk apa aku belajar filsafat? Ketersintakan itu justru tidak membuatku lari, aku mencoba mengacung janji. Bahwa filsafat itu penting walau engkau bertanya sinis lantas hadir serupa binatang yang bernama anjing yang tidak hanya sekedar melolong di malam hari, tetapi juga menampik dan bila perlu menggigit, mencabik-cabik dan meremuk segala tulang.

”Anjing”

Dalam sejarah filsafat barat Sokrates (470-399 SM) merupakan filsuf yang berpengaruh. Ajarannya yang terkenal adalah tentang pengenalan akan eudaimonia atau akan ‘yang baik’ yang bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan. Dan ini merupakan sebuah keutamaan.

Meskipun Sokrates tidak mendirikan sekolah dan menciptakan mazhab, dalam perkembangan filsafat Yunani selanjutnya muncul dua kelompok yang mengaku mengikuti ajarannya. Dua kelompok tersebut adalah mazhab hedonis yang terkenal dengan ajaran hedonisme-nya, dan mazhab sinis yang terkenal dengan sinisme-nya.

Hedonisme dengan tokohnya yang terkenal Aristippos (435-355 SM) menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari ‘yang baik’ atau kebahagiaan dengan kesenangan (hedone). Maksudnya kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Jadi anjuran untuk hidup ‘yang baik’ berkaitan erat dengan suatu kerangka pengertian rasional tentang kenikmatan baik secara emosional maupun badaniah.

Sementara itu, Sinisme beranggapan bahwa manusia memiliki keutamaan bila rela melepaskan diri dari kesenangan duniawi. Diogenes dari Sinope (412-323 SM) misalnya rela hidup di dalam gentong (kolong jembatan) untuk menunjukkan sikap radikalnya melawan kenikmatan dan kehormatan. Simbol filsafat Diogenes adalah seekor anjing, yang dalam bahasa Yunani disebut Kyon. Dari kata ‘kyon’ kemudian di-Inggriskan menjadi cynic (sinis) atau cynicism (sinisme). Jadi secara etimologi (berdasarkan asal usul katanya) anjing sama dengan sinis sama dengan kyon.

Menurut Diogenes anjing sangat tepat untuk dijadikan simbol filsafatnya, karena sangat dekat dengan hidup masyarakat sebagai hewan peliharaan. Kendati demikian keberadaan anjing bisa saja ‘menggonggong’ bahkan ‘menggigit’ siapapun. Hal yang sama dimaksudkan untuk sinismenya yang kadang tidak hanya menegur atau mengoreksi realitas, tapi bahkan lebih dari itu membongkar sebuah kemapanan.

’Bukan Anjing Mati’

Mulanya adalah ’Bukan Anjing Mati” sebuah grup pada halaman Facebook yang digagas oleh beberapa alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mereka adalah: Aleks Aur, Rangga Utumo, Albert Lasar, Paskalis Bataona, dan saya sendiri. Visi yang digariskan adalah memang sebuah sinisme. Namun tidak seradikal ’Si Anjing’ Diogenes.

Sinisme yang diperjuangkan ’Bukan Anjing Mati’ adalah penyeletukan atas realitas. Peristiwa-peristiwa keseharian yang tercecer dalam realitas, mulai dari jalanan, naik bus, berdesak-desakan. Masuk ke kedai, warung dan pasar: minum kopi, makan bakso, merokok dan mengopi. Terus menelusuri jalan hingga rumah dan kamar: jalanan, pengemis, trotoar, bantal, cinta, anak dan sejarah. Menyinggung Ke isu politik, seperti kekuasaan, negara, korupsi. Pula, mencerna ruang paling sakral: sembahyang, doa, iman, keyakinan sambil membongkar-bongkar teks kitab suci. Sampai akhirnya suluk dalam ruang tersembunyi ’tabu’ yakni seksualitas, kelamin dan selangkangan.

’Bukan Anjing Mati’ adalah sebuah upaya penjernihan atas peristiwa keseharian yang direfleksikan secara benderang dalam kaca mata filsafat. Filsafat mencoba memberi makna dengan menafsirkan dan mengintepretasi setiap kejadian dan peristiwa keseharian untuk kemudian ditempatkan sebagai sesuatu yang bermartabat. Apa pun peristiwa keseharian itu, filsafat mencoba menelisik memberi isi, bahwa sesungguhnya ’kebiasa-biasaan’ yang sering dan bahkan selalu manusia alami: lihat, dengar, rasa, sejatinya bermartabat.

Dalam perspektif ”Bukan Anjing Mati” martabat setiap peristiwa keseharian adalah bahwa semuanya memiliki nilai dan maknanya tersendiri, entah untuk peristiwa keseharian itu sendiri, maupun untuk manusia sebagai individu, makhluk sosial dan pun lingkungan semesta dan sesuatu yang melampauinya.

Lantaran itu jika dimintai merefleksikan keseharian, ”Bukan Anjing Mati’ menjadi lebih cenderung percaya bahwa esensi selalu mendahului eksistensi. Keberadaan yang terpenggal-penggal dalam peristiwa keseharian dimaknai, dijernihkan dan diberi tempat pada tempat yang sebenarnya berdasarkan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

’Anjing Gila’

Namun, selanjutnya muncul ”Anjing Gila”. Seorang kawan yang bernama Wilfried Ebitstein, yang mendefinisikan kembali ’Bukan Anjing Mati” menjadi bukan hanya sekedar galak, tetapi kegalakannya menjadi hilang ingatan. Gila. Hemat saya, Wilfried Ebitstein, tidak hanya berupaya untuk mengembalikan esensi yang sesungguhnya dari Anjing kepada tuannya Diogenes, tetapi memberi ’suplemen’ kegilaan, yang menurut Ebitstein diseut seagai ’ontis’.

Sebelum menelusuri maksud Wilfried Ebitstein sang pembabtis ’Anjing Gila” terlebih dahulu saya mengutip sepenggal dari Gunawan Muhamad (GM), (Tempo-Online, tertanggal 07 Juni 2004) Dalam catatannya yang berjudul ’Si Anjing’ GM menulis demikian:

”Ia (Diogenes adalah) seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak punya apa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui memalsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, baginya, adalah auterkeia, “swasembada”.

GM melanjutkan ”Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawa kantong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan kepada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah memberikan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir. Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergulung di pasir yang terik di musim panas dan memeluk patung yang tertutupi salju di musim dingin. Terkadang ia tinggal di sebuah bilik kecil yang disediakan salah seorang temannya, atau, bila itu tak ada, ia akan tidur di pendopo Kuil Zeus di Athena atau di dalam pithos, bak besar di Metroum, kuil ibu dewa-dewa”

Jelas, dalam konteks inilah Wilfried Ebitsteiin menempatkan maksud dari ’Anjing Gila”. Namun demikian, kesan saya pribadi, Ebistein rupa-rupanya mencoba untuk melampaui Diogenes. ’Anjing Gila’ tidak hanya mencoba untuk menampik secara radikal, tetapi juga terus menggonggong dan menggigit bila perlu. Menggigit dengan tanpa ampun. Mencabik-cabik, mengoyak-ngoyak hingga meremukkan tulang-tulangnya.

Setelah ”Anjing Gila”, Lalu Apa? Pertanyaan ini menarik untuk dijawab. Dan ini, lagi-lagi, adalah kesan saya pribadi, bahwa Wilfried Ebitstein telah merasuki, elokya memberi suplemen ’Anjing’ Diogenes dengan makanan Marxisme. Ebitstein, rupa-rupanya, sudah sedang memanggul palu perubahan nan radikal. Gagasan-gagsannya tidak sekedar sinis, tetapi juga mengumpat dan memaki. Ia tidak hanya menggonggong, tetapi juga mencabik-cabik tubuh sosial manusia.

Di tangan Ebitstein ’Anjing’ Diogenes ditafsirkan secara baru: ’Roh Kudus’ diturunkannya menjadi api dan jiwa revolusi, demikian pula ’Sang Kristus” dipandangnya sebagai kaum proletar yang tidak harus tinggal diam dan diinjak, tetapi harus berani menyerukan dan bertindak revolusioner. Sementara kebangkitan Tuhan dapat dikatakan sebagai kemenangan kaum ’anjing gila’.

Saya mengutip beberapa kalimat yang dilontarkan Wilfried Ebitstein pada halaman status ’Anjing Gila”.

Suaatu ketika Ebistein menulis, menyarakan peringatan: ”Anjing jangan kehilangan gongongannya”. Inilah sifat ’Anjing’ dalam filsafat. Diharuskan untuk selalu terjaga dan berjaga.

Pada status yang lain, Ebitstein menyoal terorisme. Terorisme tidak dipandangnya hanya sekedar peledakan dan penyerangan yang serampangan. Tetapi juga manyoal ideologi Terorisme. Dalam keseharian sifat pemaksaan kehendak baik dalam mimbar oorasi politis sampai pada altar kotbah ditafsirkannya sebagai tabiat teroris. Perhatikan status ini:

”Beberapa teroris dilaporkan tertembak. Teroris sering dikenal sebagai kaum fundamentalis pengusung ideologi2 picik yg tidak segan-segan meledakkan diri di depan orang lain. Tetapi terorisme bukan hanya dalam bentuk seperti itu. Yang seperti itu menjalar terbiarkan karena yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari diiyakan. Terorisme su muncul dalam bentuk pemaksaan2 kehendak untuk mengikuti suatu ideologi yg tidak terbuka untuk dikritik atau dibantah. Bentuk-bentuk itu spt: pemaksaan untuk demo, pemaksaan suatu mata kuliah, pemaksaan moralitas dalam kotbah-kotbah, dll.”

Pada ketika yang lain, Ebistein menyentil secara retoris dengan meminjam kalimat Ampuh Soekarno: ”Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia merdeka telah mempunyai Dnepprprostoff, dan yang maha besar di sungai Dneppr? Apa ia telah mempunyai radio station yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet-Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! [Bung Karno – Pidato BPUPKI 1 Juni 1945] Selamat ulang tahun untuk Antonio Vivaldi”

Selanjutnya Ebistein mendarat lagi, tapi terus menggonggong. Gonggonggannya keras pedas. Dengan lantang Ia menyebutkan, meminjam istilah Ananta Toer, ketidakpedulian sosial sebagai pelacur dan tindakan yang membiarkan keburukan dan kemunafikan merajalela sebagai pelacuran:

”Saya kemarin turun ke jalan bersama nona dan 10 teman Al Mubarok. Yang mengherankan adalah orang-orang cerdik pandai macam profesor doktor di STF atau para penerima beasiswa filsafat itu tidak buat apa-apa. Padahal, yang hilang adalah uang sebesar 6,7 trilyun. Kami yang pergi ini adalah orang-orang yang bodoh dengan otak yang berisi cacing dan sampah mungkin, dengan perut yang hanya mampu diisi nasi jelek sehari satu kali saja. Tetapi kami peduli dan kami cuma bisa teriak saja. Ah, buat orang-orang cerdik pandai itu, ini saya kasih pesan: “Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?” ”Pramoedya Ananta Toer – Anak Semua Bangsa)”

Sebetulnya, Ebitstein memang ’Gila’. Dan karena kegilaannya dia terus menggonggong. Yang menjadi pembeda adalah bahwa ia ’Gila’ dengan sadar. Perhatikan statusnya yang satu ini:

Apa gunannya anda belajar filsafat ketika mata anda tertutp menyaksikan penindasan yang sedng menimpa bangsa ini, apakah anda mau disebut sebagai bangsa barbar, apakah anda mau disebut sebagai anjing yang kehilangan gonggongannyan, dan macan yang kehilangan taringnya. tentu anda tidak mau kan. tapi mengapa anda tidak melangkah kendatipun ada resiko bahwa langkah anda akan dihentikan dengan panser dan senapan anjing-anjing penjaga gerbang DPR. tentu anda menolakkan, maka lakukanlah”

Tidak disebutkan secara jelas apa siapa yang dimaksudkan dengan kata ’Kamu’ di sini. Tetapi yang jelas bahwa kepada yang peduli, yang mau berpihak, yang juga yang tinggal diam dan berpura-pura tidak peduli dimintakan untuk menggonggong. Selamat Menggonggong.