Walau tidak harus disamapersiskan, namun jika hendak memperbandingkan aku dengan apa atau siapa, maka aku akan lebih memilih menjadi serupa sepasang sepatu. Pilihan ini diambil lantaran karena dua kisah. Kisah pertama adalah karena ke mana pun aku pergi, aku selalu mengenakan sepatu. Sepatu bagiku tidak hanya pelindung bagi kulit tapakku yang mudah lepuh, tetapi juga melepas jejak yang sangat membekas pada tanah. Pada jejak-jejaknya terlahir cerita dan kisah yang sulit untuk dilupakan, bukan hanya tentang apa, tetapi juga tentang siapa.

Kisah kedua adalah karena di sudut sebuah rumah kutemukan banyak sepatu terjungkal-jungkal. Sepatu-sepatu itu saling tindih menindih, tending menendang, injak menginjak hingga tidak ada ruang bagi mereka untuk bebas berjajar membentuk barisan berpasang-pasangan. Mereka telah dijadikan tidak lebih sebagai rongsokan, sebagai sampah yang pantas untuk digeletakkan di rak bambu rumah itu.

Lantan dua kisah itu, ibaku jatuh. Dalam ibaku, kumerenungkan sungguh bahwa sepatu sesungguhnya adalah hidupku. Di tengah pusaran kehidupan yang kian kejam oleh peristiwa-peristiwa yang datang tidak terduga, aku kadang linglung jatuh rapuh. Di tengah kesibukan dan kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karier dan penjilat kekuasaan mengubur kecemasan eksistensial dalam kesibukan, aku lantas bertanya siapakah sesungguhnya aku.

Sepakat atau tidak, sudah barang tentu tentang gemuruh diri ini tidak banyak yang sepakat, walau mungkin dari sekian banyak orang ada yang sepakat walau sedikit-sebagian

Pada ketika itu aku  jawaban tentang sepatu kutemukan. Aku serupa sepatu, aku hidup dan ada, sekalipun aku terjebak pada lumpur dan terjerembab pada tanah. Kehidupan, lantas, menjadi bernyawa ketika aku bergulat dengan derita-derita dan berenang dalam linangan air mata. Kata Albert Camus, kehidupan itu absurd dan tak bermakna. Tetapi bagiku dalam ketakbermaknaan kutemukan sejatinya kehidupan. Tidak hanya bermakna dalam satu hal, tetapi juga dalam banyak, tentang kehidupan yang kini dan di sini, juga tentang kehidupan pada tempat dan dunia yang lain.

Aku lantas berbangga menjadi diriku sendiri. Bahwa dalam keterlemparan dan ketakberdayaan kehidupan, aku menjadi bermartabat. Dalam situasi itu, kakiku mengajakku pergi melintasi langit, mengarungi dalamnya samudera, mengukir langit di tepi aurora. Tujuan bukan untuk siapa dan apa, tetapi untuk menjadi diriku sendiri, sebagaimana yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada saya.

Sepakat atau tidak, sudah barang tentu tentang gemuruh diri ini tidak banyak yang sepakat, walau mungkin dari sekian banyak orang ada yang sepakat walau sedikit-sebagian. Namun jika hendak menyelami kedalaman eksistensi sepatu, kita rupa-rupanya baru menyadari bahwa sepatu itu adalah aku-nya kita yang lain. Tentang ini, kita tidak dapat mengerti dan apalagi memahaminya sungguh, sebelum kita bergulat dengan sepasang sepatu pada kaki kita masing-masing.