Di Al Hidayah, sejak pagi hingga hari beranjak siang, Azam dan Nurillah tampak sedang mengajarkan shalat kepada anak-anak.  Azam dan Nurillah mendampingi mereka dengan setia. Keduanya tampak begitu serius. Sahut menyahut anak-anak terdengar berganti-ganti. Seperti itu setiap pagi Azam dan Nurillah menjalankan aktivitasnya.

Sebuah aktivitas rutin yang menjadi roh utama Al Hidayah. Habib Ridzki sangat menekankan itu, bahwa shallat harus ditanamamkan sejak dini kepada segenap kaum mukmin. ”Pangkal segala hal ialah Islam. Sedangkan tiangnya adalah sholat dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah”  (Riwayat Tarmizi) Demikian Habib Rizdki selalu mengutip.

Baginya, dan bagi segenap mukmin shalat adalah amalan yang paling besar dan agung selepas iman. Tiada amalan yang lebih besar dan agung selepas iman yang dapat menandingi shalat. Karena itulah di dalam Islam, shalat adalah menjadi tiang agama Islam. Tapaknya atau pondasinya adalah iman. Ia merupakan ibu segala  ibadah di dalam Islam.

Rasul SAW bersabda: ”Amalan yang pertama dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah sholat. Jika sholatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya, sebaliknya jika sholatnya jelek, maka jeleklah seluruh amalnya” (HR Tabrani)

Inilah alasan utama mengapa Al-Hidayah menjadi pasantren yang diminati. Keutamaan islami yang ditanamkan kepada para santri menjadi kewajiban utama. Hal itu tampak dalam keseriusan Al Hidayah mengajarkan segala keutamaan itu, bukan hanya dalam konsep-konsepnya, tetapi juga dalam pola laku dan akhlak.

Namun, terlepas dari segala konsep utama di atas, yang diyakini sungguh Azam dari ayahnya, baginya, kesempatan mengajar di Al Hidayah adalah untuk menambah pengelaman, sebelum, tiga bulan kemudian berangkat ke Cairo untuk meneruskan studi.

Azam selain menjadi santri teladan di Al Hidayah, meruakan satu-satunya putra Habib Ridzki yang cerdas. Lantaran itu, Habib menaruh harapan besar kepada putranya itu, agar kelak dapat meneruskan Al Hidayah.

Sedangkan bagi Nurillah mengajar di Al Hidayah adalah kesempatan untuk mengenal Azam secara lebih dekat.  Ia menjadi santriwati yang berbahagia, karena selain menuntut ilmu, juga menjadi bagian dari keluarga besar Habib Ridzki. Karena  keluarga Habib sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian, kedekatan antara Nurillah dan Azam  pada hari-hari di Al Hidayah, bagi Habib Ridzki adalah sesuatu yang wajar, layaknya sebagai sahabat dan saudara.

Namun, bagi Nurillah, Azam bukan hanya sahabat dan kakak. Nurillah berharap lebih. Baginya Azam adalah kekasihnya. Lantaran itu ia berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik bukan hanya kepada anak-anak asuhnya ketika mengajar, tetapi juga kepada keluarga Habib Rizki. Agar dengan semakin ia diterima, semakin ia dicintai.

Azam, menyadari itu. Ia paham betul segala upaya Nurillah. Sehingga, tanpa Nurillah mengerahkan seluruh ekspresi rasa untuk selalu tampil sempurna di hadapannya, sebenarnya Azam sudah menaruh hati sejak pertama memandang Nurillah. Baginya, Nurillah bukan hanya perempuan yang cantik jelita, tetapi juga cerdas dan solehah.

Namun, keinginan untuk mengatakan cinta selalu terpendam dalam dada, karena Sarah masih memanggilnya pada malam-malam sembahyang. Sarah masih mengisi ruang hatinya, bagai pelita. Kendati ia mencoba mengusirnya, tetapi kisahnya bersama Sarah begitu membekas dalam ingatannya. Biji-biji tasbih di tangan kanannya seperti selalu memancarkan rindu. Rindu Sarah.

Tetapi hari itu, Azam menjadi pribadi munafik. Ia mencoba untuk membohongi dirinya sendiri. Ia tak bisa menyembunyikan ketertarikannya kepada Nurillah. Keselaluan mereka berjumpa, keseringan mereka menegur sapa, membuat perjumpaan antara keduanya menjadi bernyawa. Ada cinta di antara mereka yang tak dapat lagi dipendam. Segala rasa, semua ingin segera tertumpah.

“Nurillah,…tolong ambilkan buku catatan saya di laci meja perpustakaan” Pinta Azam kepada Nurillah yang datang mendekatinya, seusai mengajar anak-anak. Azam berharap Nurillah bisa memakluminya karena dia belum selesai mengajar. Tanpa menunggu Nurillah pun bergegas menuju perpustakaan.

Sebelum Nurillah menarik laci meja, ia memperhatikan catatan-catatan tangan Azam yang bertebaran di atas meja. Ia beniat untuk merapikannya. Ia menemukan banyak catatan yang sulit dibaca, karena huruf Azam tak seindah wajahnya.

Nurillah tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Namun ada satu lembaran catatan yang cukup menyita pandangannya, ditulis dengan huruf-huruf besar dan jelas terbaca. Pada kata-kata tertentu diberi warna merah. Simbol kebahagiaan. Sementara pada kata-kata yang lain diberi garis bawah, seperti hendak memberi penegasan.

“Nurillah…Andai kau tahu, kalau di dasar hatiku, kau hadir menjadi semakin nyata. Aku yang sedianya terluka karena kebimbangan dan ketidakpastian, kini menjadi berbahagia karena kehadiranmu. Aku tak tahu, apakah ini yang disebut jatuh cinta. Tetapi jika aku mau jujur, dan jika aku menanyakan ini kepadamu, aku dan juga kau akan menjawab ‘ya, ini jatuh cinta. Kita sedang saling jatuh cinta’. Tapi entah kapan aku harus jujur mengatakan ini kepadamu. Namun yang pasti, semoga dengan membaca catatan ini, kau menjadi tahu, kalau sebenarnya aku mencintaimu”

Nurillah terperanjat. Bibirnya setengah merekah. Ia hendak berteriak. Ia  begitu gembira. Dadanya terasa sesak. Hendak ia melompat, hendak ia menari, hendak ia memeluk, hendak ia menangis. Segala rasa haru dan gembira membaur melebur jadi satu. Tak terlukiskan dengan kata.

Lembaran catatan itu bagai mukjizat. Berulang ia menatap. Antara percaya dan tidak. Jika benar, maka akan menjadi seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, harapan akan cintanya menjadi nyata. Jika tidak, ia sudah sedang memasuki wilayah setengah waras. Lama ia terpesona, serupa patung yang sedang membaca sesuatu.

“Nurillah…”

Nurillah tersintak, ia menjadi sangat malu. Ia tak menyangka kalau Azam sudah berada di belakangnya dan memperhatikan segala ekspresi rasanya.

“Nurillah…”

Azam kembali memanggilnya. Sarah membalikkan badan perlahan. Tak mengucapkan sepatah kata. Ia terpaku ditelan rasa. Mulutnya terkatub rapat. Di tangannya masih tergenggam catatan cokelat tua berisi kata rasa. Di hadapannya tampak Azam melepas senyum seakan-akan meminta kepastian.

“Ya…ya…Zam…Azam…Bang…bang Azam”  Nurillah melepas kata patah-patah. “Nurillah tidak temukan buku catatan itu bang..di mana abang meletakkannya” Nurillah mencoba mengalihkan rasa. Tetapi justru membuat Azam tertawa.

“Catatan yang saya maksud ada di tanganmu…” jawab Azam tenang. “Sudah Nurillah baca catatan itu?” lanjutnya. “Ya…ya..sudah” Jawab Nurillah gugup. “Bagaimana?” Pinta Azam. Nurillah mengangkat wajahnya perlahan. Matanya berkaca-kaca. Tanpa kata, ia mengangguk, memberi kepastian.

Azam mendekat, hendak ia memeluk dan memberi kecupan terindah pada kening Nurillah. Tetapi Azam mengurungkan niatnya. Azam sadar betul bahwa antara keduanya belum terikat tali kasih sebagai suami dan istri. Kedua bukan mukhrim. Keduanya masih sepasang kekasih, ada jarak yang masih memisahkan mereka, yakni keyakinannya mereka pada norma-norma agama.

Keduanya hanya melepaskan pandangan bahagia. Melepaskan senyum terindah. Tanpa kata. Dalam senyum dan pandang keduanya melepaskan rasa. Rasa yang sudah lama terpendam. Dan sekarang menjadi nyata. Bahwa keduanya saling jatuh cinta.