kahlil gibranRefleksi Gibran tentang Allah sebetulnya tidak keluar dari tradisi iman Kristiani. Gibran sependapat dengan interpretasi teologis kristiani yang meyakini bahwa manusia terarah kepada Allah karena Allah hendak mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi dalam sejarah. Namun demikian pertemuan Allah dan manusia bagi Gibran bukan melulu soal interpretasi, melainkan juga menyangkut pengalaman kesatuan dengan Allah. Karena komunikasi Allah dan manusia terjadi dalam sejarah, yang tersingkap melalui pengalaman cinta kasih manusia dengan dirinya sendiri, sesama dan alam, Allah pun menjadi terlibat dalam pengalaman manusia.

 Dalam kenyataan hidup manusia Allah digambarkan Gibran sebagai awal dan akhir, dasar dan tujuan, keindahan, kekal dan abadi, esa atau tunggal, kudus, pencinta. Namun ada dua sifat yang sangat umum dan membawahi sifat-sifat Allah tersebut, yakni Allah sebagai yang Imanen dan Transenden.

 Allah Yang Imanen . Menurut Gibran Allah yang imanen adalah Allah yang hadir dalam diri setiap manusia, setiap makhluk hidup, dan dalam alam semesta.

 “Jika kalian hendak mengenal Tuhan, maka jangan pernah mengatakan atau menilai sesuatu, sebelum kalian melihat sekitarmu – karena di situ kalian akan menyaksikan Tuhan sedang bermain dengan anak-anak kalian. Dan lihatlah juga ke angkasa raya, karena di sana Ia bersemayam di antara mega-mega, mengulurkan tangannya dalam kilat yang membahana, lalu turun bersama hujan yang membasuh wajah dunia. Kalian akan melihatnya dalam setiap senyuman bunga, lalu membumbung tinggi sambil melambaikan tangan-Nya – menyelamimu dari pucuk pohon cemara.”

Gambaran tentang Allah ini membuat alam semesta menjadi tempat memantulkan kemahakuasaan dan penyingkapan kekayaan rahmat Allah dan tubuh menjadi tempat ibadah yang murni untuk menemui Sang Pencipta. Bagi Gibran setiap manusia adalah unik dan dalam keunikan tersebut Allah hadir. Kekhasan dan keunikan tersebut adalah kekayaan serentak sebuah kekurangan bagi diri sendiri. Karena itu setiap usaha mencari dan menjumpai Allah adalah usaha untuk mewujudkan diri secara sempurna. Karena keberadaan Allah pada dasarnya adalah unik sesuai dengan kodrat manusia, maka perwujudan diri manusia itu tidak lain adalah menemukan kesadaran akan keunikan dan kekhasan diri, yakni bakat-bakat atau potensi yang terkandung di balik raganya.

 Pada sisi ini manusia menjadi ‘sama seperti’ Allah, melaksanakan karya penciptaan, mengubah dunia sesuai dengan kehendak dan kebutuhannya, juga membawa dunia kepada tujuannya, yakni bersatu dengan Allah yang adalah awal dan akhir kehidupan. Di sini imanensi Allah dapat dipertanggungjawabkan. Allah yang imanen itu bekerja pada tataran tujuan, dengan memberikan horison awal bagi manusia dan dunia untuk berkembang dan semakin mengarah kepada-Nya. Artinya Allah hadir secara intensional, sebagaimana tujuan hadir imanen dalam gerak-mengarah kepada Allah.

 Dalam keterarahan itu Allah menghendaki manusia dan dunia menjadi ‘seperti Dia’ bersatu dengan-Nya. Dengan demikian Allah juga bekerja pada tataran aplikasi, sebab ia menumbuhkan hasrat untuk berkembang bagi manusia, ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut. Allah dalam posisi ini adalah Allah yang terlibat dalam prinsip dan cara kerja manusia dan dunia. Di sini Allah hadir ‘secara fisik’ sejauh Ia memberikan eksistensi seluruh ciptaan-Nya. Ia memadukan ciptaan-Nya itu kepada diri-Nya sendiri dalam hubungan yang amat erat, sehingga dapat dikatakan bahwa Ia dekat dengan kita, dalam Dia kita hidup, bergerak dan ada (Kis. 17:28).

 Allah Yang Transenden. Seperti sudah dijelaskan bahwa Allah adalah awal dan akhir segala sesuatu. Sebagai awal, segala sesuatu datang dari Allah, segala sesuatu diciptakan oleh Allah. Allah juga adalah akhir karena segala sesuatu bergerak mengarah kepada Allah. Allah adalah tujuan dari segala sesuatu. Artinya, kesempurnaan segala sesuatu hanya dapat terwujud dalam persatuannya dengan Allah. Sebagai makhluk yang terbatas manusia tidak dapat menemukan kesempurnaan dalam dunia. Alam pun harus mengarah menembus batas eksistensinya untuk mencapai kesempurnaan. Singkatnya manusia dan dunia membutuhkan Allah sebagai tujuan akhir dari segala usaha dan perjuangannya menemukan makna kehidupan yang sempurna.

 Dalam pandangan ini transendensi Allah dapat dijelaskan. Keterarahan manusia dan dunia terhadap Allah membuktikan bahwa Allah adalah yang transenden. Artinya Allah melampaui dunia, berbeda sama sekali dari dunia, eksistensinya pun sama sekali tidak tergantung dari apakah dunia ada atau tidak, ia memiliki kepenuhan kekayaan kemengadaan, ia tak terbatas, tak terhingga, sempurna penuh dan utuh.

 “Ada sebuah hati yang meliputi segenap hati kalian, sebuah cinta yang merangkum seluruh cinta kalian, sebuah jiwa yang melingkupi segenap jiwa kalian, sebuah suara yang melingkupi semua suara kalian, dan sebuah keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan – Ia abadi. Maka carilah kini dan rasakan dalam liputan diri, maka engkau akan dapat memahi keindahan yang lebih cantik dari segala keindahan yang ada, sebuah kidung yang lebih agung dari nyanyian samudera dan rimba belantara, keagungan yang bertahta atas singgasana, galaksi Orion hanya bagaiakan penyangga kakinya, dan galaksi Pleiades pun tidak melebihi kerdipan permatanya.”

 Transenden adalah apa yang seluruhnya berbeda dari ‘ada-ada’ yang lain. Perbedaanya terletak pada ‘adanya’ sendiri dan pada apa yang dalam dirinya merupakan hal yang paling intim dan paling radikal. Yang transenden itu mengatasi dunia sampai memiliki suatu eksistensi yang sama sekali lain. Gagasan ini jelas menegaskan bahwa setiap usaha manusia dan dunia harus berakhir dengan membiarkan Allah sendiri yang melanjutkan usaha tersebut sampai pada kesempurnaan yang infinitum. Dengan demikian, keilahian dunia dan usaha manusia harus dibawa melalui tindakan dan penyerahan diri secara penuh kepada Allah untuk kesempurnaan yang lebih besar dan utuh.

 Gibran Seorang Panenteis. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Gibran imanensi dan transendensi yang Ilahi dalam dunia selalu berjalan bersamaan. Gibran melihat yang ilahi sama sekali transenden, maka yang Ilahi juga sama sekali imanen. Allah bersifat baik transenden maupun imanen terhadap dunia. Mengapa yang Ilahi itu imanen dan bukan tergantung hanya transenden terhadap dunia? Karena dunia sebagai realitas tidak mutlak seluruhnya tergantung dari, atau berdasarkan pada Yang Mutlak. Jadi unsur apa pun dalam dunia hanya bisa ada karena ada yang Ilahi yang menunjangnya.

 Gibran meyakini adanya kesatuan antara keduanya, yang imanen dan transenden. Allah itu di manapun tidak dapat ditemukan sebagai salah satu objek atau unsur, akan tetapi di manapun ia dapat ditemukan sebagai dasarnya. Di dalam dunia kita tidak dapat mencari atau menemukan Allah sebagai satu objek yang lain. Di manapun kita mencarinya kita tidak akan menemukannya. Tetapi apabila kita mencari syarat-syarat kemungkinan kita berada dan bergiat dalam dunia, kita dapat menyadari atau merasakan kehadiran Allah di mana-mana. Kita dapat menemukan Allah dalam segala-galanya.

 Namun demikian bukan berarti Gibran menghilangkan sisi transenden dari Allah. Sebab bagi Gibran sekalipun Allah ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam Allah, itu tidak berarti bahwa segala sesuatu itu identik, atau sama dengan Allah. Yang diyakini Gibran tentang adanya kesatuan antara Allah dan makhluk, tentang Allah yang diyakininya hadir di mana-mana, dalam diri manusia, kehidupan dengan segala dimensinya, dan alam semesta dalam hakikat cinta, tetap ada ‘jurang’, ada jarak antara keduanya. Allah yang begitu dekat dan menyatu dengan makhluk ciptaan-Nya, bagi Gibran hanya merupakan sebuah bentuk kesimpulan berdasarkan pengamatan analogis, yakni berdasarkan kesamaan unsur-unsur seolah-olah menyerupai dan bukan sama persis, karena dalam unsur-unsur tersebut termuat perbandingan yang lengkap satu sifat terhadap sifat yang lain.

 Dengan demikian paham Allah dalam pandangan Gibran bukanlah seperti yang ada dalam bentuk panteisme. Sebab dalam panteisme Allah bersemayam dalam segala-galanya. Alam raya dipenuhi dengan Yang Ilahi dengan semua kekuatan-Nya. Panteisme menekankan kepekaan yang tinggi terhadap kehadiran Yang Ilahi dalam dunia. Ia sangat menegaskan imanensi Yang Ilahi. Demikian juga Gibran tidak menekankan paham Allah seperti dalam deisme, yang melulu menekankan transendensi ilahi. Allah yang terpisah dari dunia, yang sedemikian jauh dari manusia dan alam semesta, sehingga Ia tidak mencampur peristiwa-peristiwa dunia ini. Allah yang menentukan hukum-hukum alam, yang memadai untuk mengatur peredaran dunia sesuai dengan apa yang ditentukan semenjak dunia ini diciptakan-Nya.

 Gambaran Allah dalam pandangan Gibran bersifat panenteistik. Panenteisme lebih menegaskan segala sesuatu ada dalam Allah. Allah begitu meresapi jagat raya sehingga segala sesuatu berada dalam Allah. Gibran tampaknya sependapat dengan teolog Kristen terkenal Paul Tilich. Menurut Poehlmann, Tilich mengembangkan teologi “imanensi paradoks dari transendensi” yaitu kenyataan bahwa Allah yang menurut hakikatnya melampaui dunia, berada dalam dunia, Ia imanen di dalam dunia sebagai inti yang menopang segala sesuatu. Allah dipandang Tilich sebagai kedalaman. Tilich pernah berkata “Kalau kata Allah bagi anda tidak mempunyai makna lagi maka berbicaralah tentang kedalamanmu, tentang sesuatu yang mutlak menyangkut dirimu…kalau anda melakukan hal ini, mungkin anda terpaksa harus melupakan beberapa hal yang telah anda pelajari tentang Allah, anda bahkan akan melupakan kata itu sendiri. Karena kalau anda telah mengetahui bahwa Allah merupakan kedalaman hidupmu maka dengan itu anda mengetahui banyak tentang Dia…siapa yang mengetahui tentang kedalaman, mengetahui juga tentang Allah”

 Kedalaman yang ditegaskan Tilich sama dengan apa yang dilakukan Gibran yakni memahami Allah dengan berpijak pada kehidupan itu sendiri. Sebuah permenungan yang mendalam atas dimensi kehidupan manusia. Dengan demikian bagi Tilich Allah adalah imanen juga transenden. Allah sekaligus di dalam dan di atas. Mengenai imanensi dapat dikatakan bahwa Allah adalah dasar kreatif permanen dari dunia dan transendensi Allah menunjuk pada ‘jurang’ yang memisahkan yang tak terbatas dan terbatas.

 Ringkasnya, dalam panenteisme baik transendensi dan imanensi Allah ditampung untuk menunjukkan ciri personal Allah. Dasar dari panenteisme adalah distingsi nyata antara Allah dan alam semesta, dan relasi nyata timbal balik di antara keduanya. Di satu pihak, entitas Allah berbeda dengan dunia karena Allah mencakup totalitas kemungkinan termasuk kemungkinan yang tidak terbatas sesuai dengan struktur kosmis yang de facto ada. Sedang di pihak lain Allah juga unik karena Allah menyerap ke dalam diri-Nya seluruh alam semesta. Dalam pandangan panenteistik personalitas Allah ditemukan.

 Allah Yang Personal dan Terlibat. Gibran menunjukkan personalitas Allah dengan dua cara, yakni pertama, Allah ditunjukkan secara ontologis sama dengan struktur personalitas seorang manusia. Allah memiliki tangan yang mampu bekerja, mulut yang mampu berbicara, kaki yang mampu berjalan, kulit yang mampu meraba dan hati yang mampu merasa. Allah bergerak dalam pikiran dan perasaan manusia. Inilah yang disebut Gibran sebagai imanensi Allah. Namun pada Allah rangkaian wujud-wujud aktualitas itu juga mengidentifikasikan keabsolutan keilahian-Nya. Kedua, Gibran menunjukkan struktur ontologis Allah tidak perlu digambarkan sama seperti struktur ontologis manusia. Personalitas Allah dilukiskan sebagai satu aktualitas abadi. Yang tidak dapat disamapersiskan dengan manusia. Gagasan yang kedua ini menempatkan Allah sebagai Yang Transenden.

 Demikianlah, bagi Gibran Allah dan dunia itu sesungguhnya integral. Allah adalah hati yang meliputi segenap hati, sebuah cinta yang merangkum seluruh cinta, sebuah jiwa yang melingkupi segenap jiwa, sebuah suara yang melingkupi semua suara. Allah adalah segala-galanya, Ia Mahasempurna, kekal, tak terbatas, tak terpikirkan, dan melampaui segala sesuatu yang ada. Namun, serentak itu pula Allah ada dan terlibat bersama manusia dalam ruang dan waktu, tampak di sana sedang bermain bersama anak-anak, atau jika menatap ke angkasa raya merayap bersama mendung lantas bersama hujan membasuh wajah dunia.