Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu) Ungkapan dalam bahasa Sikka.

 

 

Seusai tamat Sekolah Dasar tidak ada pekerjaan yang lebih menjanjikan sekaligus mengasyikkan bagi sebagian gadis remaja di sepanjang pesisir Flores Nusa Tenggara Timur selain menenun. Pekerjaan tersebut bukan berarti menyita waktu sekolah lanjutan mereka baik ketika sudah sedang duduk di bangku SLTP atau SMU. Tetapi sekedar pengisi waktu luang yang sesungguhnya tidak sekedar bermain, para gadis itu gesit wariskan tradisi.

Mengapa tidak. Menenun adalah kebiasaan dan tradisi sehat yang diwariskan secara turun temurun. Saya bahkan percaya bahwa hanya dengan melihat secara terus menerus kebiasaan ibu-ibu mereka, gadis-gadis remaja itu dengan sendirinya bisa memulai menenun tanpa harus diajari. Kebiasaan, ketekutan, konsistensi dan selanjutnya adalah penemuan atas media penyaluran kreatifitas dan ekspresi, yang membuat para gadis remaja itu terpanggil untuk melanjutkan tradisi.

Kebiasaan pada umumnya. Dengan wajah ditaburi lulur beras kencur, rambut di sanggul dan atau dibiarkan jatuh, gadis-gadis itu bisa duduk berlama-lama dalam kepungan perangkat tenun. Sesekali mereka bercakap-cakap dan atau melepas kelakar. Sesekali tanpa suara, hanya terdengar hentakan bilah perapat benang. Terdengar walau tak berirama, tetapi cukup bisa mengatakan kepada para pelintas jalan bahwa dari tangan mereka tradisi menenun tetap terjaga.

Demikianlah kisah gadis-gadis pesisir penerus tradisi. Dari ketarampilan tangan mereka dalam dan melalui lembaran-lembaran kain tenun ikat, tradisi dan budaya tetap terjaga. Para mosadaki/mosalaki (tokoh dan kepala adat) yang mengenakannya, tetap tampak matang dan wibawa, bahkan mitos, lambang suku yang diagungkan yang ditampilkan dalam dan melalui motif dan design tetap dianggap ‘sakral’.

Akhir kata, tahukah anda bahwa semua tercipta dari bawah kolong rumah, dari sebuah tenda di samping rumah, dari atas loteng rumah dan bahkan dari gubuk di kebun-kebun orang tua mereka. Semua tercipta dari sebuah waktu luang yang tidak terbuang cuma-cuma, dari kreatifitas yang asyik untuk ditiru-contoh dengan begitu mudah. Dari jari-jari merekalah tradisi dan budaya terus diwaris-kembangkan.

SEKILAS TENTANG KAIN TENUN NUSA TENGGARA TIMUR

Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Nusa Tenggara Timur merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.

Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.

Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti : 1).Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh. 2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat. 3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin) 4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian. 5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu. 6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar. 7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain. 9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)

Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.

Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.

Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.

Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni : 1) Tenun Ikat ; disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi. 2) Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) “tenunan buna” yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai. 3) Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.

Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.

Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. 

Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.

Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :1). Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada. 2). Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Utara. 3). Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat.

Sumber Utama:

Sumber Pembanding: