Indonesia tidak hanya dianugerahi Tuhan sebagai sebuah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau kecil yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni) dengan tiga diantaranya merupakan pulau-pulau besar di dunia yakni Kalimantan (539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2). Indonesia pun dikaruniani Tuhan lebih dari 740 suku bangsa/etnis, (dimana di Papua saja terdapat 270 suku) dengan ragam bahasa daerah, yaitu, 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia.[1]

Mengatapi keberagaman tersebut Indonesia sebagai bangsa memaklumkan ‘Bhineka Tunggal Ika. Sebuah Frasa teologis[2] yang berasal dari Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu” sebagai sebuah falsafah.

Di mana dan kapan saja sebagai bangsa kita mendengungkan itu, jika bukan dalam dan sebagai perayaan, frasa yang sama suluk menyelam dalam permenungan-permenungan sebagai khasanah falsafah bangsa. Tentang hal itu, sebagai sebuah bangsa, Indonesia pantas berbangga. Kamajemukan, keberagaman dilihat sebagai keutamaan bangsa. Sehingga selanjutnya tentang dan dalam keberagaman kehidupan beragama menetas kalimat ‘Ke-Tuhanan yang Maha Esa’.

Ke-Bhineka Tunggal Ika-an yang didengungkan dalam keseharian dan ‘Ke-Tuhanan yang Maha Esa’ yang ditempatkan sebagai poin pertama dalam Pancasila merupakan symbol sekaligus falsafah bangsa yang diyakini dapat mempersatukan keberagaman  tidak hanya suku, bahasa dan budaya, tetapi juga agama dan keanekaan ungkapan kepercayaan.

Namun untuk sampai menyadari dan memahami keanekaan semua dan keragaman segala itu sebagai khasanah dan keutamaan, sebagai bangsa kita harus mengandaikan ada kekuatan-kekuatan penopang, dua di antaranya yang penting adalah multikulturalisme dan tolerasi.

Saya dengan sengaja memilahkan dua pengandaian ini, karena pada hakikatnya antara keduanya tidak bisa disamapersiskan walaupun keduanya berada dalam wilayah pemahaman manusia (eksoterik). Roh multikulturalisme adalah hukum dan norma moral universal, sedangkan toleransi yang menjadi dasarnya adalah keyakinan bahwa Tuhan itu Esa. Lalu, mengapa kita mengandaikan kedua hal ini penting untuk menjaga keutuhan keberagaman? Jawabannya tunggal karena keberagaman adalah sesuatu yang bermartabat, dan karena keberagaman pula kehidupan ini menjadi bernyawa.

Masih ingat kisah menara Babel? Kesombongan dan kepongahan manusia untuk menyatukan semua dan segala kehidupan dalam satu kesatuan yang tidak terceraikan membuat Tuhan murka. Lantaran itu Tuhan menceraiberaikan semuanya. Manusia dan segala isi kehidupan yang lain dilepaspisahkan, selanjutnya menyebar dengan beragam ke seluruh muka bumi. Kutukan Tuhan ini-lah yang selanjutnya menjadi rahmat bagi kehidupan. Bahwa dalam keberagaman dan keanekaan, manusia dan segala isi kehidupan dimanta untuk saling menghargai dan menghormati, bukan sebaliknya saling memaksankan kehendak dan apalagi bertindak semena-mena.

Catatan sejarah, pengalaman keseharian dan refleksi atasnya seharusnya memberikan kita kesadaran lebih tentang dan atas makna keberagaman. Jika mau jujur, sebagai sebuah bangsa, sebenarnya kita lalai dalam memaknai keberagaman cultural dan agama sebagai sebagai yang bermartabat. Konflik antar suku, perang saudara, pertikaian antar agama yang mewarnai keseharian kehidupan kita sebagai bangsa menggambarkan dengan amat jelas minimnya pemahaman dan kesadaran kita akan makna keberagaman.

Bagi saya, adalah mendesak jika multikulturalisme dan toleransi tidak hanya direfleksikan dan apalagi didengungkan jika muncul masalah, tetapi walaupun jika tanpa masalah keduanya pun harus masuk ke dalam ‘ruang kelas’. Artinya sebagai sebagai nilai dan keutamaan dalam memahami keanekaan keduanya mesti diajarkan kepada generasi muda dan sejak usia dini.


[2] Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah Kakawin  Jawa Kuna yaitu Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap adalah sebagai berikut: Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Di-Indonesiakan menjadi: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika.