Pada suatu hari seorang profesor memberikan mata kuliah menarik dengan tema besar “Berpikir boleh Global, tapi bertindak tetap di dan (dari) Lokalisasi”. Belasan mahasiswa yang diasuhnya ternganga. “Jangan mencatat apa pun dari yang akan saya jelaskan. Sarungkan penamu, katupkan mulutmu”. Sang profesor mengingatkan. Belasan mahasiswa itu pun tunduk. Sebagian tampak tegang, yang lain senyam-senyum. Seorang mahasiswi terkekeh-kekeh.

“Dengarkanlah, “Berpikir global, bertindak lokal”. Sang profesor memulai dengan sebuah adagium klasik “Ini adalah adagium ampuh penentang globalisasi. Mengapa tidak. Globalisasi sebagai realitas hegemoni kekuasaan semakin banyak didiskusikan karena bukan hanya asumsi tetapi fakta membuktikan bahwa korporasi global lah yang pada akhirnya mendapatkan keuntungan melalui berbagai ekspolitiasi sumber daya alam dan manusia (buruh), sementara rakyat jelata sebagai bagian terbesar penghuni bumi ini justru tercampakkan”

Ekspresi wajah para mahasiswa mulai berubah. Tampak sudah mulai serius mendengarkan. Yang senyam-senyum dan terkekeh-kekeh sudah mulai diam. Yang tegang sudah mulai lentur, walau tetap serius.

“Demi menentang hegemoni ‘global’ (yang ternyata lebih banyak buruknya), maka kekuatan lokal secara perlahan dimaksimalkan. Energy social, semisal gotong royong, kerja sama, baku peduli, bahu membahu mulai dikembalikan peran dan fungsinya. Modal pertanian dan lingkungan semisal cinta lingkungan, kembali kepada alam, konsumsi pangan lokal dan organic, pemanfaatan pupuk alam dan bibit tanaman lokal mulai digiatkan. Demikian juga dengan kapasitas pendidikan, kebiasaan dan budaya. Tidak tanggung-tanggung, ruang social, rembuk desa, pelatihan dan penguatan kapasitas manusia warga pedesaan diagendakan”

Ekspresi wajah para mahasiswa tampak heran. Rupa-rupanya mereka tidak mengerti benar apa yang sudah sedang dijelaskan sang profesr. Mereka tidak mengerti apa itu desa. Apa itu baku peduli. Apa itu gotong royong. Mereka adalah manusia-manusia abad 21, yang tidak hanya ber-ayah dan ber-ibu modernitas, tetapi juga dibesarkan dalam lingkungan yang tidak menyentuh tanah. Ekspresi wajah mereka kebingungan. Tapi sang professor tetap saja melanjutkan.

“Singkatnya, bahwa yang ‘lokal’ adalah sesungguhnya jauh lebih ber-energi jika dimaksimalkan. Tentu saja setelah dicerna-gali secara matang dan secara berani berdiri berhadap-hadapan dengan kekuatan global. Lantaran, tanpa harus larut dalam pusaran arus globalisasi, mereka yang bertindak di lokalisasi (sebuah pembatasan tempat dan wilayah yang disebut desa atau komunitas), secara perlahan sudah mulai berpikir matang dan bertindak cermat”

“Globalisasi itu seperti lokalisasi”

Hal ini bertujuan tunggal yakni agar desa atau komunitas dengan segala keunikan dan kekhasaannya, kekuatan dan keunggulannya tidak digadaikan hanya demi ‘uang’ dan ‘kekuasaan’.

Menutup pelajaran sore sang Guru memberi pesan “Lakukanlah itu”. Spontan belasan mahasiswa menunjuk jari ingin tanya “Prof, sebenarnya apa yang sudah sedang prof jelaskan?” tanya seorang mahasiswa “Apa itu bibit lokal?” tambah seorang mahasiswa yang lain. Mahasiswa yang lain menimpal “Saya mengerti maksud prof, bukankah prof sedang menjelaskan agar kami pergi ke lokalisasi?”

Sambil menggeleng-gelengkan kepala, sang professor menjawab “Saya tidak menjelaskan apa-apa, saya hanya mengajak anda semua secara bersama-sama berpikir tuntas bahwa yang hendak hidup sejahtera bukan hanya kita yang hadir dalam ruangan ini,  tetapi juga mereka yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya”.

“Siapakah mereka itu professor?” tanya seorang mahasiswa. Profesor menjawab “Kalian semua”. Para mahasiswa pun ternganga. Mengapa tidak. Ternyata para mahasiswa itu adalah mereka yang dapat melanjutkan pendidikan karena orang tua dan lingkungannya membiayai mereka dari keringat dan air mata para buruh. Orang tua mereka adalah dewa-dewa pembunuh manusia pedesaan. Investor yang loba dan makelar tanah yang rakus.

“Untuk memahami apa yang sudah sedang saya jelaskan, pertama-tama kalian harus menyadari diri secara sungguh jika seandainya kalian adalah orang-orang yang dikalahkan. Jika kalian dapat menemukan itu, kalian akan sadar bahwa sesungguhnya kalian tidak pantas berada di sini. Tetapi di lokalisasi, jadi pelacur yang melacurkan diri. Di sana kalian baru bertindak dengan hati, dengan energy, dengan daya, bahwa kehidupan itu adalah sebuah perjuangan, bukan sulap”.

Wajah para mahasiswa memerah. Hingga sang professor meninggalkan ruangan, para mahasiswa masih mendekam dalam senyap, seperti tidak berdaya, seperti marah, seperti orang-orang kalah. Hugffffffff…..