Seorang kawan menanyakan kepadaku tentang permainan masa kecil yang paling menyenangkan. Aku kesulitan untuk menjawabnya, lantaran aku tidak punya permainan yang bisa membuatnya diam untuk mengisahkan masa kecilnya yang serba-serbi kemewahan. Dia begitu bangganya dengan varian permainan yang membuatnya sagat berbahagia. Dari segala benda yang ada di jalanan sampai makhluk-makhluk ruang angkasa dan dunia maya.

‘Aku memiliki masa kecil yang bahagia’ selalu ia menyombongkan dirinya seperti itu. Pada setiap sempat dan saat. Dalam hati kecil aku kadang kesal, apakah ini memang tabiat anak orang kaya zaman sekarang, selalu setiap bertambah umur, kenangan akan masa kecilnya selalu mengemuka jadi kisah-kisah. Serupa tidak ada kisah yang lebih menyengat ruang diskusi yang hendak ia bagikan, selain kenangan tentang masa kecilnya.

Maklum, aku anak desa, dilahirkan dari keluarga sederhana di Romba, Maunori, Flores Nusa Tenggara Timur. Yang ketika masih kecil, tidak ada permaian lain selain mengutak-atik batu, kayu, karet gelang, kelereng dan layang-layang. Tentang semua permainan itu, tidak ada satu pun yang melekat dalam ingatanku, selain bahwa dari semuanya memberikan aku makna tentang ‘kesederhanaan’.

Sampai pada suatu ketika, ketika ia menanyakan tentang itu lagi, maka dengan bangga aku mengatakan permainan masa kecil yang paling menyenangkan adalah ‘menantang gelombang’. Dia terperanjat. Kerut dahinya tampak. Dalam hati aku tertawa, ‘Nah, rasain lo…bingungkan?”

Aku mengisahkan, bahwa ‘menantang gelombang’ adalah permainan yang tidak hanya membutuhkan fisik yang kuat, tetapi juga kelincahan dan keindahan gerakan. Dia makin terpana. Aku melihat dari wajahnya segala play station dan robot-robotan yang selalu dikisahkan dengan bangga, hancur berantakan.

“Engkau tahu, laut Sawu adalah laut yang ganas, gelombangnya tinggi-tinggi. Dan jika engkau hendak tahu lebih banyak lagi, pesisir pantai di kampungku pun berbatu, bukan pasir”

Aku berhenti sejenak. Mengubah posisi duduk. Mengatur pernapasan, mencoba untuk menata suaraku, supaya membuatnya lebih tercengang.

“Jika kita hendak bermain ‘menantang gelombang’ tetapi tidak memiliki kekuatan fisik yang cukup, kejelian, kelincahan maka kepalamu akan pecah dan tubuhmu remuk redam”

Air mukanya kecut. ‘Oh, remote control segala jenis permainan megahmu seperti kehabisan batrei’ kataku dalam hati.

“Apakah engkau mau datang ke kampung sekali-kali dan kita bermain menantang gelombang?” aku menguji nyalinya.

“Oh..tidak!” jawabnya gugup.

“Kawan, tubuhmu menjadi bongsor seperti ini, mukamu yang menjadi seperti buah tomat, serta larimu yang seperti keong adalah akibat dari kebanyakan main robot-robotan dan playstation ketika engkau masih kecil” jelasku. Dia terkekeh.

“Ah lebay lo” tampiknya

“Kawan,masa kecilmu dihabiskan di rumah dan di tempat duduk, maka tidak heran jika sekarang engkau selalu mengisahkan tentang itu, andai saja engkau ke luar, melihat dunia: alam, laut, gunung dan pohon-pohon, maka engkau tidak akan lebih bahagia dari sekarang”

Dia menunduk. Dia seperti orang kalah. Permainan ‘menantang gelombang’ yang kuceritakan menghancurkan semua kenangannya. Segala mobil-mobilan, kreta-kreta-an, tarobot-robotan, remote-remote-an, hanyut dibawa gelombang laut Sawu. Aku melihat dari raut wajahnya yang layu, seperti salah satu robot kehilangan dahi berlampu, karena kehabisan tenaga baterai Sayo 1,5 volt.