Aku kadang membayangkan arti  kata ini: Bheda. Itu adalah nama keluargaku. Sebenarnya aku tidak hendak mengutak-atiknya. Karena nama itu bukan soal identitas saja, tetapi juga tentang sesuatu yang ‘disakralkan’. Namun, ketika nama itu menjadi familiar karena selalu disebut maka aku mencoba melanggarnya. Semuanya, bermula ketika banyak orang yang menjumpaiku sulit untuk melafalkan nama itu.

Lebih sering aku dipanggil ‘Beda’ ketimbang harus dengan ‘susah payah’ menyebut ‘Bheda’.  Bahkan ada yang dengan seenak perutnya menyebut ‘Bedha’. Entah mengapa dan untuk apa kebanyakan dari mereka mengambil atau membuang konsonan ‘h’ dari namaku itu. Atau memindahkan sesuka hati konsonan itu ke depan dan belakang. Dugaanku adalah karena ‘rasa bahasa’ yang tidak lazim membuat sebutan itu menjadi melenceng. Lucu sekali…..

Tentang bagaimana orang menyebut nama itu, entah ‘Bheda’ atau berubah menjadi ‘Beda’ atau ‘Bedha’ aku tidak peduli. Apalah arti sebuah nama, tanya William Shakespeare. Walau katamu, nama adalah tanda (nomen est omen). Tetapi jika tanda sudah dapat dibaca, rupa-rupanya nama tidak menjadi berguna. Cukup mengingat dan menyebut namaku sebagai ‘Kris’ dan tentang itu sekali lagi, rupa-rupanya sudah cukup bagiku. Sudah cukup menjadi tanda. Itu adalah aku.

Di bandara Polonia Medan suatu ketika, dalam perjalanan ke Jakarta, aku menyinggahi salah satu counter penerbangan swasta, karena harus menukarkan tiket elektronik yang sehari sebelumnya dikirim via pesan singkat.

Dari balik kaca, seorang wanita menanyakan nama. Selanjutnya kulafalkan nama panjangku. Tidak sulit baginya untuk mengulang nama baptisku “krispianus” tetapi ketika mendengar nama belakangku, dia melebarkan kupingnya dengan mulut sedikit mencong. Kecantikannya hilang.

“Diulang mas…”

“Bheda”

“Beda, maksudnya?”

“Bukan, tapi Bheda”

“Aduh..”

“Gini aja mbak”

“Ya…”

“Tulis terlebih dahulu huruf ‘b’ dan ‘h’…jadi  ‘bh’ mbak!”

“Koq..’bh’ mbak?

Aku terkekeh. Dia tersenyum. Senyumnya manis sekali. Lantas untuk tidak memperpanjang diskusi tentang ‘bh’ kutarik dompet dan kukeluarkan kartu tanda penduduk (KTP).

“Sial..”

“Kenapa mas?”

“Sama mbak hasilnya…pak lurah juga salah mengetik namaku?

“Ikut nama KTP aja mas?

Kusdorkan KTP-ku. Dengan perlahan aku mendengar perempuan di balik kaca itu melafal namaku. Aku terkekeh mendengar pelafalannya yang penuh hati-hati. Rupa-rupanya ia takut kalau aku naik pitam.

“Bedha..ya”

“Ya aja”

Ya Tuhan. Dari ‘Bheda’ menjadi ‘Beda’ selanjutnya berubah menjadi ‘Bedha’. Konsonan ‘h’ bergerak begitu liar. Sesuka hatinya di lidah mereka yang menyebut namaku menempatkan huruf itu. Di depan, di belakang, atau bahkan tidak sama sekali. Entah, mereka mengunyahnya atau bahkan membuangnya.

“huahhhhhhhh….apalah arti sebuah nama. Nama adalah pertanda”

“Pertanda apatah itu?”