copy-of-copy-of-dsc008441Hari belum petang, tetapi kabut sudah merendah hingga menutupi aspal. Lampu pick up sengaja tidak dinyalakan, karena pandangan masih bisa menembus samar-samarnya untuk jarak 200 meter ke depan.

     Pada setiap belokan pedal gas sengaja ditekan melemah, benar-benar tidak gegabah, karena mulut jurang di kiri dan kanan jalan memang merindingkan. Sekejap mata melayang ke langit khayal, seketika itu pula roda berpindah haluan ke tepi lahat.

     Kendatipun lelah, aku berusaha untuk tidak lengah. Dirayu kantuk dan dingin pun aku tidak melupa laju. Dari jantungnya, Leuser terus perlahan menghembuskan hawa tidurnya, hingga meraba ari-ariku. Aku menggigil. Kemeja yang kukenakan sudah setengah basah, tempiasan hujan tipis mengenainya.

     Di tepian yang rata, sedikit berteduh di bawah rindang, aku menghentikan laju pedal gas. Dari balik ransel kukeluarkan buju ganti. ‘budaya  Aceh, budaya damai’ aku tersenyum membaca tulisan di dada baju putih itu.

Gibran pun tersenyum. Dan ia pun tampak lebih bangga dariku. “Kawan, selama 30-an tahun lebih di tanah yang kita cintai, di Nanggroe Aceh Darusallam ini tidak kita jumpai jabatan tangan. Kalaupun ada semua ucapan salam dan jabatan tangan seperti berlalu di bawa angin, lalu menusuk masuk ke prasangka dan curiga. Kita menyalibkan segala niat dan kebaikan selama itu dalam dendam yang terentang antara timur dan barat, lalu kita berontak-rontak ingin memisahkan diri walau sebenarnya kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun dari dadamu yang putih aku temukan optimisme bahwa ‘budaya aceh, budaya damai’ sudah memberi jalan untuk kita bisa ke Beutung Ateuh”

Aku kembali menghidupkan mesin mobil, lalu terus melaju membelah gelap kabut. Di antara terawang dan kehati-hatian agar tetap selamat sampai tujuan, Gibran tiba-tiba melanjutkan kisah. Ia membongkar lembaran sejarah sejak di babilonia sampai ke Nagan Raya. Mengobrak abrik ruang rasaku untuk jadi seperti pemberontak, tetapi pada saat yang sama seperti mendenyutkan dalam nadiku sebuah kisah tentang perubahan.

“Tujuh ribu tahun telah lewat sejak kelahiranku yang pertama, dan semenjak itu kusaksikan budak-budak kehidupan, yang menyeret belenggu-belenggu sebagai beban. Telah kujelajahi belahan Timur dan Barat Bumi dalam kembara Kehidupan Terang dan Bayangan. Aku menyaksikan iring-iringan peradaban yang berjalan dari terang ke kegelapan, insan-insan menyertainya terhela ke neraka oleh jiwa-jiwa yang terhina, terbongkok di bawah perbudakan. Yang kuat dikekang dan dibungkam, yang setia berlutut menyembah pujaannya. Telah kuikuti perjalanan insan dari Babilonia ke Kairo, dari Ain Dour sampai Baghdad, dari Jakarta sampai Nanggroe Aceh Darusallam dan menyaksikan bekas rantai belenggu yang terukir pada pasir dan padang. Kudengar gema kesedihan abad-abad yang pasang-surut, terulang kembali oleh padang ilalang dan jurang abadi”

Aku tetap mendengarkan dengan rasa. Gibran benar-benar mengantarkannku pada imajinasi pemberontakan, tetapi serentak seperti meninabobokanku pada setiap lembaran kitab suci. Kemudian Gibran melanjutkan.

”Telah kutemui abad demi abad dari tepi-tepi sungai Kenge sampai pantai Eufrata; dari hilir sungai Nil sampai padang Asiria; dari Arena Atena sampai gereja-gereja Roma; dari pemukiman kumuh Konstantinopel sampai puri-puri Alexandria, dari sungai Digul di Papua sampai ke bengawan Solo, dari ciliwung sampai krueng Isep, dari gedung-gedung di Batavia sampai pondok pasantren di Pedalaman Aceh…Namun nafas perbudakan kulihat meliputi segala, dalam iring-iringan kebodohan yang agung dan megah. Kusaksikan manusia mengorbankan pemuda dan dara di kaki patung pujaan, dan menyebutnya Tuhan, menuangkan anggur dan minyak wangi pada kakinya, dan memujanya sebagai Ratu. Mereka membakar kemenyan di depan bayangan pujaan, lalu menyebutnya Nabi, berlutut dan memuja di hadapannya, dan menyebutnya sebagai Hukum. Mereka berperang dan mengurbankan jiwa demi dia, dan memberinya nama Patriotisme; dengan tunduk pada kemauannya, mereka menyebutnya bayangan Tuhan di atas bumi; dengan menghancurkan rumah-rumah dan lembaga demi kepentingannya, disebutnya Persaudaraan; dengan berjuang, mencuri dan bekerja untuknya, disebutnya dia Rezeki dan Kebahagiaan; dengan membunuh demi kepentingannya, dinamakan dia Persamaan”

Apa yang sedang dikatakan Gibran? Tanyaku dalam hati. Gibran menyalakan api pemberontakan? Tidak. Sanggahku. Gibran sedang melukiskan peristiwa, mengangkat realitas, mengungkapkan fakta tentang penderitaan yang tak pernah lenyap. Dan aku pun menyetujuinya. Bahwa hanya dengan dan dalam kerendahaan hati kedamaian akan tercipta, walau sebenarnya tidak cukup dengan sepenggal kalimat pada baju sedekat apapun ditempal di hati, dia tetap di tepi, ditempel.

     Tapi aku tetap terkagum-kagum, walau sebetulnya itu bukan sifatku. Inilah aku, kataku dalam hati. Inilah jati diriku yang sebenarnya. Dan untuk itulah sebenarnya aku menuju Beutung Ateuh. Walau orang mengatakan tidak mungkin karena melihat pekerjaanku, tapi untuk menghadapi stuasi yang tidak mungkin dan sulit segala sesuatu menjadi mungkin. Bukankah itu sebuah seni? kenangku pada salah satu poin dari conflict transformation by peacefull means yang di pajang di dinding kantorku.

     “Kawan, tidak semua buku yang kita baca mengisahkan tentang kebenaran, sekarang kita adalah penulisnya. Menulis dalam peristiwa, sekarang saatnya kita harus tewas dalam peristiwa agar peristiwa yang kita jalani menjadi hidup” Gibran mengingatku.

     Dari balik gagang setir aku terus membayangkan apa yang akan terjadi di Beutung Ateuh. Sebuah lembah penuh kenangan, dimana prasangka dan praduga masih ada di titik klimaks. Di mana dendam dan ketakutan belum benar-benar tuntas. Namun dari balik dada, rasa itu terus bergetar bahwa perjalananku bukan menabur angkara murka, tetapi sebaliknya meneteskan embun penyejuk rasa.

     Alamak…mataku meredup lelah, Singga Mata belum juga menampakkan wajahnya, tujuanku pun masih jauh di balik lembah. Di belakangku, Meulaboh sudah ke dalam samar-samar. Hanya jauh di sana buih-buih putih tampak menampar ujung karang.

     Oh..mataku pun kembali terjaga memandang Meulaboh yang gelap. Mendung merendah membuatnya jadi kelam. Bayangku berputar kembali ke 2004, membuka kembali catatan hitam malapetaka, ketika gelombang pasang menyapu bersih  segala denyut napas.

     Benarkah itu malapetaka? dadaku berdebar memberontak. Ataukah keajaiban? Ruang refleksiku membenarkan. Malapetaka itu adalah anugerah dari Allah yang menghendaki kita untuk diam bertengkar dan berdebat, berhenti berperang dan berpesta pora di atas darah dan air mata.

     Sebuah teguran mahadasyat yang menyentakkan ruang kesadaran kita hingga menarik pena ke atas lembaran kertas bernama MoU Helsinki. Tapi jika dicerna,  lembaran kertas itu belum seberapa kuat. Fondasi pertobatan harus datang dari hati, niat yang tulus, kemauan untuk berbenah diri.

     “Kawan, perjalanan kita masih cukup jauh, jangan menghabiskan energi khayalmu” Gibran menepuk bahuku agar lebih berkonsentrasi melaju. “Jadi…..” Prak…”Babi” spontan Gibran. Suara itu mengagetkanku. Seekor babi hutan terlempar ke bibir jurang. Badan samping kiri depan pick up telah menyenggolnya. Oh..aku telah menabraknya. Maafkan aku, maafkan aku. ‘Mengelamun tentang perdamaian saja sudah ada korban, apalagi bertindak demi perdamaian itu sendiri?” seloroh Gibran sedikit mengejekku.

     Beutung Ateuh masih jauh, entah berapa kilo meter lagi aku mengejar senja sebelum tiba. Tapi di dalam benakku, aku menduga saudara-saudaraku di Beutung Ateuh menunggu. Para santri yang santun menanti salam. Perempan-perempuan pembuat kue dan penyulam kasab duduk sambil tersenyum. Pemusik memainkan alat musik mereka. Santriwan-santriwan bershalawat.

     Aku menyebut mereka saudara, karena di atas fondasi tanpa paksaan, aku akan merajut kasih dengan kelembutan. Menggeser prasangka dengan pengharapan, dendam dengan cinta, bimbang dan kekuatan.

     Hemsh…aku menarik napas sedalam-dalamnya. Menjelang petang hari itu, tersisah banyak tanya di ruang kepala. Namun ada satu yang mencuat paling lantang, seperti yang dikatakan Gibran sebelum kami berangkat ke Beutung Ateuh ‘Selepas senja, dapatkah kau terbitkan rembulan, sebab saudaraku ada di Lembah, di mana gelap selalu lebih duhalu menghinggap?

 

Catatan:

Naskah asli tulisan ini sebelumnya sudah diterbitkan di Buletin Gampong Getanyoe, edisi Juli-Agustus 2008, selanjutnya dipublikasikan di media online http://forjusticeandpeace.wordpress.com. Namun, dalam blog ini sudah terjadi perubahan judul dan dengan sengaja saya masukan tokoh Kahlil Gibran untuk menguatkan, juga menghidupkan alur cerita .