Guguran daun tua dan patahan dahan atau ranting sudah barang tentu menjadi permadani dan juga atap bagi para pejuang Aceh. Salah satu di antaranya adalah bagi Teuku Umar Johan Pahlawan semasa perjuangannya mengusir Belanda.

Pada masa perjuangannya, pedalaman hutan Mugo Aceh Barat, yang sekarang menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir, hanyalah menjadi satu hutan yang pernah menjadi rumahnya.  Dua rimba terbesar Aceh: Leuser dan Ulu Masen dipastikan sudah disinggahinya. Lantaran itu, tidak heran jika sang pahlawan sekaligus penjelajah hutan itu memilih kembali tidur selamanya di bawah rindang hutan.

Bagi saya pribadi, Teuku Umar Johan Pahlawan bukan hanya seorang pahlawan besar, petarung ulung di medan laga, tetapi juga seorang penjelajah dan pencinta alam. Terlepas dari penjelajahan yang dilakukannya semasa perjuangan adalah karena meluputkan diri dari serangan penjajahan Belanda, yang pasti bahwa hanya dari dan dalam hutan belantara Aceh itu Teuku Umar Johan Pahlawan menemukan dirinya sebagai ‘Inilah aku, inilah tanah airku. Inilah alam Aceh, Inilah Indonesiaku’. Ya, serupa itu jika hendak dikata dalam kata.

Di dan dalam belantara Aceh, Teuku Umar pergi meluputkan diri. Di dan dalam belantara yang sama ‘sang pengkhianat’ (sebutan dari pihak Belanda untuk Teuku Umar) itu temukan inspirasi dalam menyusun strategi. Saya lantas mencoba menebak, jangan-jangan karena terinspirasi dari bunglon di pedalaman rimba Aceh, maka Teuku Umar berani menjadikan dirinya berpura-pura menjadi antek Belanda. Strategi itu ternyata ampuh. Belanda dipecundanginya, senjata dan amunisi dibawa lari. Sang istri, Cut Nyak Dhien dibuatnya kagum, sementara kompeni Belanda dibawah komando Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Van Teijn dibuatnya gigit jari.

Apakah bukan karena hutan Aceh yang telah membentuk Teuku Umar menjadi serupa itu? Ini misteri yang mungkin tidak akan pernah disibak siapa pun, jika bukan oleh Teuku Umar itu sendiri. Tetapi semuanya sudah terjadi. Sekarang di jantung hutan Mugo Aceh Barat, di bawah rimbunan beringin dan sejuknya hawa belantara, beliau beristirahat dengan damai untuk selamanya.

Tetapi miris hati saya, ketika menyaksikan plastik permen, plastik bekas air mineral, kardus dan sampah plastic lainnya mewarnai guguran daun jatuh di sekitar makam Teuku Umar. Siapa pun yang mengunjungi Makam Teuku Umar pasti akan melihat itu. Saya membayangkan, rupa-rupanya kita tidak pernah peduli bahwa hutan Mugo adalah rumah kedua Teuku Umar, dan areal makamnya adalah kamar tidurnya yang abadi. Lantas mengapa kita datang dan mengotori keindahan dan kesakralan rumah abadinya? Pesannya tunggal: Jangan Buang Sampah di Tempat Peristirahatan Kekal Teuku Umar. Beliau tidak hanya pejuang kemerdekaan, pahlawan nasional, tetapi juga sang penjelajah dan pencinta alam.

Muasal Teuku Umar Dijuluki Johan Pahlawan

Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan membuat hubungannya dengan pihak Belanda semakin kuat. Pada 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda. Awalnya Umar dicap sebagai pengkhianat, tapi rupa-rupanya tindakan Umar itu adalah salahsatu taktik untuk menipu Belanda demi mendapatkan tambahan perlengkapan tempur dan mengetahui strategi perang Belanda selanjutnya.

Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dien dan memakinya. Mungkin karena malu, Dien berusaha menasehati suaminya untuk kembali melawan Belanda, namun, Umar terus saja intim dengan Belanda. Sebagai kompensasi atas kesetiaannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu terhadap Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, serta amunisi milik Belanda, dan tidak pernah kembali. 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar, berhasil digondol Umar untuk kepentinga perjuangan rakyat Aceh. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).

Sumber:

https://krisdasomerpes.wordpress.com/2011/06/06/sakralnya-hutan-mugo/

http://bungong.wordpress.com/2008/04/28/teuku-umar/