Semua elemen pendidikan bangsa ini harus duduk bersama dan menentukan pilihan mana yang terbaik bagi masa depan pendidikan bangsa yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Masih terekam dalam catatan media lokal dan nasional di tanah air tentang kontroversi seputar pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Dan saya masih yakin jika kontroversi yang sama akan muncul pada tahun-tahun berikutnya jika para pelaku pendidikan tidak duduk semeja untuk berunding dan menemukan solusi alternatif untuk hal yang satu ini.

Seperti diketahui, kontroversi tersebut muncul lantaran UN dianggap tidak mencerdaskan peserta didik, namun sebaliknya menjadi  beban bagi peserta didik untuk mengukur prestasi.

Kubu yang menerima berdalih dengan ujian nasional diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia seperti yang diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Jika UN ditiadakan, kapan siswa belajar serius dan kapan pemerataan kemampuan antara siswa di Jakarta dengan siswa di Makassar, dst..”

Sementara kubu yang menolak UN berpendapat lain, UN dilaksanakan asalkan hal itu hanya digunakan sebagai pemetaan kemampuan siswa pada masing-masing satuan pendidikan.  Yang menjadi alasan utama bagi kubu yang tidak setuju adalah UN jangan dijadikan ukuran untuk meluluskan atau menindakluluskan siswa, karena hal ini sudah masuk ke ranah kewenangan guru yang mengetahui hitam atau putihnya peserta didik.

Kontroversi ini tidak pernah tuntas, pertanyaan kita adalah apakah UN seperti yang sementara ini berlaku pantas diteruskan atau tidak?  Ini pertanyaan besar system dan metode pendidikan Indonesia. Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita butuh waktu panjang.

Semua elemen pendidikan bangsa ini harus duduk bersama dan menentukan pilihan mana yang terbaik bagi masa depan pendidikan bangsa yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Ups……bukan sekarang jawabannya apakah UN pantas untuk diteruskan atau tidak, karena sekali lagi semua elemen pendidikan harus duduk bersama menemukan solusi yang tepat dengan kepala dingin. Yang tidak pantas untuk diteruskan adalah tradisi ugal-ugalan, coret-coretan pada seragam sekolah seusai pengumuman kelulusan UN.

Banyak Sekolah Menengah Atas di negeri ini yang masih menjadikan aksi coret-coretan seragam sekolah sebagai tradisi. Komentar yang sering terdengar adalah “Nggak coret…nggak rame..nggak seru”

Namun jika dipikirkan secara akal sehat sebetulnya aksi coret-coret sebagai peluapan kegembiraan adalah tindakan yang keliru dan tidak mendidik. Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pelajar sebagai agen pencerahan.

Disebut demikian karena: 1) dianggap terlalu berlebihan dan overacting. Sebab ada cara-cara lain yang lebih konstruktif untuk meluapkan kegembiraan, sebagai missal berdoa bersama dan bersyukur kepada Tuhan. 2) tidak menghargai jerih payah orang tua yang telah mengeluarkan uang untuk membeli seragam sekolah.

3) melukai dan mencederai kawan-kawan SMA di pelosok yang tidak memiliki seragam sekolah ketika hendak bersekolah. 4) mencoreng nama sekolah jika aksi-aksi yang dilakukan sampai berlebihan, membuat macet jalanan, ugal-ugalan dan melanggar norma moral dan agama. 5) pendidikan belum usai, pendidikan adalah proses panjang dan tidak berhenti ketika di SMA. Kelulusan yang diraih adalah salah satu titik dari sekian panjang proses yang harus dilalui.

Lantaran pendidikan adalah sebuah proses tanpa henti, adalah lebih bijak jika seusai lulus UN para pelajar dengan didukung oleh para pendidik dan orang tua meluangkan waktu memikirkan pilihan jurusan dan universitas yang tepat bagi pelajar yang bersangkutan.

Persaingan di tingkat global menunjukkan bahwa kualitas pendidikan adalah prioritas utama dalam menghadapi tantangan ke depan. Tidak jarang ditemukan, banyak sarjana yang akhirnya menjadi pengangguran, lantaran salah memilih jurusan berdasarkan minat pelajar itu sendiri. Atau dipaksakan oleh orang tua untuk mengambil jurusan ini dan itu.

Pertanyaan penutup…memilih mencoret baju atau memikirkan tentang masa depan pendidikan anda sendiri? Memulai dengan kebingungan memilih jurusan dan universitas adalah malapetaka.