1t

SATU PERNYATAAN

Suatu ketika Frans Dulla Burhan (1978-1989) pernah berkata “Tugas saya dibantu para penggerak usaha tani. Saya tidak katakan berhasil atau gagal tapi setidaknya ada perubahan di tengah masyarakat yang dirasakan sampai saat ini (yang dulu)”.

Seperti apa perubahannya di tengah masyarakat  saat ini (yang sekarang)  tentang dunia usaha tani dapat kita tempatkan    persawahan Lembor sebagai titik tilik. Bahwa persawahan Lembor pernah menjadi salah satu ‘Lumbung Padi’ NTT sudah layak untuk dikotak-sejarahkan. Lantaran cepat atau lambat, jika tidak dipikir-kerjakan serius, persawahan Lembor akan menjadi padang gersang, dan selanjutnya tentang ‘lumbung padi’ akan jatuh runtuh jadi ironi. Jika kecemasan ini benar, ‘Robohnya Lumbung Padi Kami’ dengan demikian bukan merupakan kepala catatan yang hiperbolik.

DUA PERTANYAAN

Mengapa optimisme tentang ‘Lumbung Padi’ itu runtuh, lantas berubah jadi ironi? Selanjutnya bagaimana membangun kembali ‘lumbung padi’ itu agar tidak hanya kembali berkibar tinggi, tetapi juga menjawab inti perihal hakikat negara agraris yakni ‘kedaulatan petani’? Dua pertanyaan ini, jika mau dijawab-dedah dengan sungguh, sepotong catatan ini tak cukup untuk memberi ruang kaji. Namun, sekedar sebagai alternative solusi, saya berpikir pantas untuk berbagi energy.

TIGA JAWABAN

Saya memulai catatan pendek ini dengan tiga komentar, lebih tepat  disebut jawaban hasil pembacaan yang tepat atas fakta perihal persawahan Lembor.

Pertama, Pada Oktober 2012, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia,  pernah mengatakan dengan tanya “”Ini (sawah dan irigasi) Lembor bagus sekali. Kenapa tidak diperbaiki,” selanjutnya dengan diawali kata penghubung yang menandai syarat (janji) “Jika Irigasi di Lembor ini jalan, bisa mengairi 5000 hektar sawah”.  Di depan matanya, sang presiden melihat keyataan tidak maksimalnya irigasi dan musing kering yang panjang. Lantaran itu presiden terus mendorong pembangunan dan revitalisasi irigasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Lembor. (http://www.jurnas.com, 18 Oktober 2012).

Kedua, Pada Februari 2013, Agustinus Ch. Dulla, Bupati Manggarai Barat dibuat pusing tujuh keliling lantaran hama belalang yang terus menggerus bulir-bulir padi.  “Kita mesti datangkan ahli khusus pertanian untuk meneliti persawahan Lembor, karena kondosinya sudah sangat memprihatinkan, tidak seperti dulu lagi” katanya dalam rapat konsultasi persiapan Seminar Nasional ‘Pengembangan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif’ yang (kebetulan) saya turut nimbrung.

Ketiga, Pada Oktober 2013, Antonius Adol, salah seorang petani sawah di Lembor dengan nada kecewa menuturkan “kami bukan beli pupuk, tapi kami beli kertasnya saja (label). Karena pupuk yang kami gunakan selama ini tidak memberi perubahan apa-apa” akunya. Itu perihal pupuk, soal pendampingan dan modal produksi pun sama pedihnya “Sekarang jika kami pinjam modal ke rentenir, bunganya besar, 20%” selanjutnya “Pendampingan dan pengawasan PPL tidak maksimal. Main biliar rajin, mendampingi kami malas, kenapa begitu?”.

EMPAT TILIKKAN

Dengan tiga komentar di atas, (walau saya tidak sedang bermaksud menggeneralisir kesimpulan) sebenarnya sudah cukup untuk melihat Lembor sejauh ini. Bahwa sebagai ‘Lumbung Padi’ hamparan persawahan Lembor sudah menjadi ironi dan bahkan berubah menjadi sangat sarkastik. Mengapa?

Pertama, tentang irigasi. Revitalisasi irigasi Lembor sebagaimana diisyaratkan SBY pada Oktober 2012 rupa-rupanya tidak berdampak signifikan. Faktanya, di beberapa titik, selokannya ambruk karena dikikis air lantaran dibangun ‘asal jadi’. Lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan buruknya kerja kontraktor membuat saluran irigasi Lembor tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Upaya untuk merevitalisasi saluran irigasi dilaksanakan setiap tahun, tetapi hasilnya tetap tidak kunjung memuaskan. Fransiskus Bens, salah seorang petani sawah Lembor misalnya, mengeluhkan perihal itu “Pemerintah mestinya mengawasi pengerjaan irigasi, perbaikan yang terus menerus karena kerusakan yang juga terus menerus membuat kami kadang kesulitan dalam mengelola sawah”.

Padahal pada tahun 2009 misalnya pemerintah pusat melalui APBN sudah menggelontorkan milyaran rupiah untuk perbaikan irigasi di wilayah lembor. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, seperti dikutip dari http://www.pu.go.id pernah menjawab surat terbuka salah seorang penanya yang meminta tanggapan perihal persoalan irigasi Lembor.

Disana disebutkan “Daerah Irigasi Lembor C.s dengan luas potensial 4.424 Ha yang terdiri dari Sub sistim derah irigasi: Wae Kanta=1.434 Ha, Wae Sesap= 1.178 Ha, Wae Lombur= 545 Ha,  Wae Cewo= 694 Ha. Wae Sele= 573 Ha. Tahun Anggaran 2009 kegiatan pada kawasan Daerah irigasi oleh Departemen Pekerjaan Umum dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah melalui Tugas Pembantuan Operasi dan Pemeliharaan dari Departemen Pekerjaan Umum kepada Pemerintah Daerah Provinsi NTT (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT) dengan kegiatan pada Kawasan Daerah Irigasi Lembor adalah:02

Kedua, tentang hama belalang yang dipusingkan bupati dan ‘label pupuk’ yang membuat kecewa petani sawah Lembor. Dua hal itu saling terkait erat. Pupuk (kimia) dan pestisida (kimia) di satu sisi merusak ekosistem mikroorganisme tanah secara khusus dan ekosistem alam sawah secara umum. Di sisi lain, matinya ekosistem sudah barang tentu memutuskan rantai makanan. Hama wereng dan belalang lantas keluar sebagai ‘raja sawah’ baru lantaran tidak ada persaingan di sana. Hama kemudian dengan tanpa gangguan mengemut-hisap manis akar, batang dan bulir padi yang secara berulang makan makanan ‘siap saji’ seperti Urea, SP dan KSL.

Akibatnya semakin banyak dipupuk dengan menggunakan pupuk kimiawi semakin rusaklah ekosistem tanah, dan semakin banyak penggunaan pestisida semakin beranak-pinaklah segala jenis wereng.

Maka benarlah Fransiskus Bos. Dengan nada lirih petani sawah ini bertutur “Tanah sawah kami sudah semakin kurus dan krisis gizi”. Dan proses untuk membuat tanah menjadi demikian sebenarnya sudah dimulai sudah sejak dulu, pada ketika Lembor dilambung tinggi jadi ‘lumbung padi’.

Anehnya, upaya untuk menanggulangi  hama, pemerintah hanya memenggal gunung es dengan cara

pergiliran varietas benih padi. Padahal soalnya bukan hanya pada rotasi benih tetapi juga melihat kelumpuhan ekosistem secara komprehensif. Sekedar sebagai misal, saya mengutip penelitian Baehaki S.E. dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (http://pangan.litbang.deptan.go.id) yang menunjukkan perihal serangan hama wereng cokelat yang proses penangkalannya dengan cara rotasi varietas benih. Hasilnya bukan sebaliknya potensi hama menurun, justru hama kian bermutasi dan beranak-pinak.

Di sana Baehaki mencatat: “Wereng coklat sudah menyerang tanaman padi di Darmaga, Bogor, pada tahun 1939, kemudian di Yogyakarta dan Mojokerto tahun 1940. Dalam upaya peningkatan produksi padi nasional, pemerintah pada tahun 1967 mengintroduksi varietas unggul IR5 dan IR8 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat. Pada tahun 1971, timbul ledakan wereng coklat biotipe 1. Pada tahun 1975 diintroduksi varietas IR26 (gen tahan Bph1) dari IRRI, namun pada tahun 1976 terjadi ledakan yang hebat di beberapa sentra produksi padi karena terjadi perubahan populasi wereng coklat dari biotipe 1 ke biotipe 2.

1t1Pada tahun 1980, untuk menghadapi wereng biotipe 2 diintroduksi varietas IR42 (gen tahan bph2) dari IRRI, namun pada tahun 1981 terjadi ledakan yang hebat di Simalungun, Sumatera Utara, dan beberapa daerah lainnya karena adanya perubahan populasi wereng coklat dari biotipe 2 ke biotipe 3. Untuk menghadapi wereng coklat biotipe 3 telah diintroduksikan varietas padi IR56 (gen tahan Bph3) pada 1983 dan IR64 (gen tahan Bph1+) pada tahun 1986, dan pada tahun 1991 diintroduksi varietas IR74 (gen tahan Bph3). Pada tahun 2006, gen ketahanan IR64 patah karena populasi wereng coklat berubah ke biotipe 4. Kestabilan wereng coklat biotipe nol bertahan selama 41 tahun sebelum menjadi wereng coklat biotipe 1. Perubahan wereng coklat biotipe 1 ke biotipe 2 hanya dalam waktu 4 tahun, dan perubahan wereng coklat biotipe 2 ke biotipe 3 dalam kurun waktu 5 tahun. Sampai tahun 2005 (24 tahun) wereng coklat masih didominasi oleh biotipe 3, dan pada tahun 2006 mulai berkembang wereng coklat biotipe 4. Keberadaan wereng coklat biotipe 3 yang cukup lama disebabkan oleh berkembangnya varietas IR64 (Bph1+) dalam kurun waktu yang lama. IR64 merupakan varietas tahan lestari (durable resistance) yang mampu menahan perubahan wereng coklat ke biotipe yang lebih tinggi, selain tidak berkembangnya vartietas IR74 (Bph3) yang akan menyulut terbentuknya biotipe baru.

Ketiga, tentang modal produksi berbiaya tinggi. Rata-rata modal yang dihabiskan oleh seorang petani sawah untuk mengolah sawah seluas 1 ha bisa menghabiskan dana kurang lebih Rp. 7.560.000—Rp 10.000.000. Ongkos produksi membengkak tidak hanya lantaran bunga kepada rentenir yang mencapai 20%, ongkos lain-lain seperti transportasi untuk pekerja, biaya makan minum pekerja, rokok pekerja (laki-laki) tetapi juga mahalnya harga pupuk dan pestisida.

Perihal pupuk dan pestisida kimia, selain setiap tahun berganti, lantaran banyaknya perusahan yang menawarkan produknya, juga selalu harus bertambah jika digunakan. Penambahan pupuk dan pestisida yang dialami para petani tidak hanya mengakibatkan kerusakan pada tanah dan kondisi kesehatan petani, tetapi juga bersamaan dengan ini makin membengkaknya ongkos pengadaan pupuk dan pestisida yang dimaksud.

01

Keempat, lemahnya pengawasan pemerintah, secara khusus ujung tombak lapangannya: PPL pertanian. Pun tidak konsistennya pendampingan lembaga pemberdayaan masyarakat sipil yang bergerak di sector pertanian di Lembor. Antonius Adol, salah seorang petani sawah di Lembor mengatakan bahwa pegawai PPL lebih suka main biliar ketimbang membantu memecahkan problematika para petani. Sementara itu perihal peran keterlibatan LSM, menurut Adrianus Asri salah seorang aktivis masyarakat sipil Lembor mengatakan “Antara apa yang dikatakan dan yang diperbuat tidak sesuai dengan kenyataan”.

Apa yang dikeluhkan dengan tanya oleh Antonius Adol dan Adrianus Asri sejatinya menjadi gambaran perihal ‘kesendirian’ para petani dalam memecahkan sengkarut soal perswahan Lembor yang bagai tak berujung. Padahal seharusnya, sebagai ujung tombak perubahan, PPL dan LSM punya posisi penting dalam memberikan solusi-olusi alternatif di lapangan. Seperti apa seharusnya peran pegawai PPL dan lembaga pengawasan non pemerintah (LSM) untuk turut hadir dan berada di tengah masyarakat petani dapat saya sodorkan tujuh rekomendasi yang ditawarkan Van Den Ban berikut ini.

Menurut Van Den Ban, et.al (dalam Agricultural Extension:2003) Penyuluhan secara sistematis adalah suatu proses yang meliputi tujuh poin ini: 1). Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; 2). Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut; 3). Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; 4). Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; 5). Membantu petani memutuskan pilihan tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; 6). Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya;dan 7). Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.

SATU SOLUSI

Saya kembali ke pernyataan Frans Dulla Burhan (1978-1989) “Tugas saya dibantu para penggerak usaha tani. Saya tidak katakan berhasil atau gagal tapi setidaknya ada perubahan di tengah masyarakat yang dirasakan sampai saat ini (yang dulu)”.Empat tilikan singkat-ringkas di atas sudah cukup menjelaskan betapa peliknya persoalan pengelolahan persawahan Lembor. Mengembalikannya sebagai ‘Lumbung Padi’ Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak masih jauh panggang dari api.

Dan jika hendak ditilik lebih jauh lagi, problem lain yang juga jauh lebih rumit untuk diurai adalah perihal sumber daya manusia para petani itu sendiri. Tidak semua petani sawah Lembor paham tentang apa yang mereka kerjakan dan bagaimana mereka melakukannya. Sebagaimana dikisahkan oleh Fransiskus Bos, salah seorang petani sawah di Lembor bahwa banyak petani yang tanam secara tidak beraturan.

Perihal ini menjadi indikasi bahwa secara skill dan ilmu petani masih butuh didampingi secara intensif. Belum lagi jika menyoal bagaimana seharusnya menanam berdasarkan pola tanam yang baik, penggunaan pupuk dan pestisida yang bijak-alami serta mengelola dan merawat tanaman padi yang sistematis. Rupa-rupanya, lagi-lagi masih jauh dari  maksimal. Belum memadai dan bahkan tampak sangat sulit. Lantaran selain, butuhkan kemauan dari petani sendiri untuk belajar dan menimba pengetahuan, juga di sisi lain butuh sinergisitas semua elemen masyarakat untuk mendampingi dan mengadvokasinya secara bijak.

Satu tawaran yang mungkin bisa dijadikan sebagai alternatif solusi dari semua problematika di atas, menjawab kecemasan perihal ‘Lumbung Padi’ kita tidak benar-benar roboh adalah melihat Lembor dengan hati nurani, selanjutnya membangunnya kembali dengan budi pekerti.

Selanjutnya, sinergisitas semua elemen masyarakat dalam mewujudkan kedaualatan pangan dengan pertama-tama memberikan pendidikan dan mentrasformasi pengetahuan kepada para petani yang dilakukan secara konsisten adalah prioritas pertama dan utama. ***