Biji-biji tasbih mengalir dari jari-jarinya. Tanpa lelah. Seperti tak berkesudahan.  Walau malam kian pekat. Bulan beringsut padam. Dan kantuk menerjang matanya. Azam tetap bersimpuh diam, dengan mata terpejam mematung bagai khubah.

Di balik diam dan sunyinya malam. Di balik kekhusukannya. Terpancar darinya bayang-bayang surga. Tentang sebuah perjumpaan dengan keindahan surga  yang tak terlukiskan dengan kata. Yang hanya dapat dikisahkan dari butir-butir tasbih. Bahwa Allah hadir begitu dekat, begitu nyata.

Bagi Azam, berdzikir kepada Allah di setiap saat merupakan sifat seorang mukmin. la bisa berdzikir, baik ketika berdiri maupun duduk, ketika tidur maupun terjaga, ketika sedang sibuk maupun di waktu luang dan dalam berbagai kesempatan lainnya.

Inilah zikir yang dilakukan secara mutlak, demikian Azam meyakini, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu. Azam menjadi begitu taat karena di balik dadanya berdengung firman-Nya. ”Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” (QS. al-Ahzab [33]: 41).

Dan lantaran itu Azam meyakini sungguh. Setelah melewati zikir yang panjang. Azam menyudahinya dengan sepenggal istiqfar.  Sebuah ungkapan maaf kepada Allah SWT, akan gundah yang selama ini dipendamnya. Ketika itu, mendung menggelantung dan malam memanggilnya tidur.  Namun, matanya tiba-tiba berkaca. Air matanya seperti hendak menetas duka.

Wajah Sarah yang sejuk dan ketusan senyumnya tiba-tiba berkelebat menyelimuti malam Azam. Datang menerjang, menyengat ruang rasanya. Memanggil-manggilnya untuk mengingat-ngingat tentang sesuatu peristiwa di silam.

Tentang tasbih. Tasbih yang memperjumpakannya dengan Allah pada setiap saat dan pada segala tempat. Sebab, tasbih pada jari-jarinya adalah tasbih pemberian Sarah. Perempuan yang ditinggalkannya tanpa alasan jelas. Entah karena ketakutan yang mendalam, kebimbangan yang besar dan atau ketaksanggupannya mengatasi masalah. Namun, semuanya itu menjadi alasan yang tidak masuk akal. Sebab dari balik dadanya, Sarah masih tetap menjadi wanita terindah.

Dengan mata yang berkaca, seperti melantunkan istiqfar, Azam melepaskan kata-kata gundah penuh harap: “Sarah…ketulusan cintamu membuat aku selalu berkaca bahwa kehidupan ini nyata indahnya” demikian Azam berujar. “Tasbih yang kau berikan di bawah bulan, mengingatku pada kejujuran cinta yang pernah kusampaikan kepadamu. Aku sungguh mencintaimu”

“Ketika aku berkata hanya alam dan Tuhan yang tahu, sebenarnya aku sedang memberikan ruang refleksi untuk kita masing-masing akan makna cinta yang sesungguhnya. Apa sejatinya cinta di antara perbedaan yang sedang kita hadapi”

“Dan tasbih yang kau berikan, membuatku perlahan sadar bahwa sejatinya engkau benar-benar beranjak mendekatiku. Engkau benar-benar ingin masuk ke dalam ruang rasaku. Engkau ingin memberikan segalanya, bukan hanya indah tubuh duniamu, tetapi juga jiwa surgamu”

“Namun, aku belum meyakini itu sungguh. Bukan karena aku tidak mempercayaimu. Tetapi karena aku menjadi sangat takut dengan diriku sendiri. Aku belum menemukan keputusan yang pasti. Sehingga pada setiap siang maupun malam, aku selalu berpasrah kepada sumber segala pengetahuan yakni Allah”

Biji tasbih mengalir dari jari-jarinya. Namun sampai diujung malam itu, walaupun ketika sudah beranjak ke kamarnya di Al Hidayah, Azam tak dapat pejamkan mata. Mengingat biji tasbih itu, Azam mengingat Sarah. Seakan-akan ia sudah sedang bezikir bersama Sarah. Seakan-akan Sarah menjadi dekat dan nyata bersamanya berjumpa Allah. Seakan-akan tangannya sudah sedang merangkul dan memeluk Sarah menuju gerbang surga.