lukisan mengenang Mei 98Untuk para korban pemerkosaan Mei 98.

Setelah sembilan delapan sampai dua ribu delapan, pada setiap malam bulan Mei, Mei Hua selalu bermimpi tentang Pistol. Senjata yang pernah menerjangnya, menggagahinya, hingga membuat vaginanya meneteskan air mata. Pada setiap malam bulan Mei, Mei Hua selalu melihat kelamin suaminya serupa pistol, padahal suaminya hanya seorang pedagang yang dengan tulus mencintainya.

 Bahkan kalau makan, Mei Hua seperti makan pistol. Mulutnya meremuk segala yang masuk, dan sendok pun dikunyahnya. Ia marah besar. Membuat mulutnya meneteskan air mata. Giginya menyala-nyala. Kecantikannya hilang dibalik kebringasannya.

 Kalau mandi, Mei seperti mandi serpihan pistol. Tubuhnya menggelinjang. Meliuk-liuk menghindari tetesan air yang jatuh. “Itu peluru, itu peluru, itu peluru” katanya berulang. Kamar mandi serupa medan perang. Membuat tubuhnya, meneteskan air mata. Ia bagai drakula.

 Pada setiap sentuhan dan pada semua saat, Mei selalu melihat jari-jari tangan anak-anak dan suaminya serupa pistol. Kuku-kuku anak dan suaminya diamininya sebagai peluru. Mata suaminya dianggapnya pelontar mesiu. Dan ciumannya pun dikatainya sebagai racun. Suaminya dibilangnya hulu ledak paling ampuh. Anak-anaknya disebutnya mortil, membuat tubuhnya merinding.

 Serupa di depan kaca. Bayang-bayang Mei sembilan delapan menghantuinya. Membuatnya selalu takut pada jarum waktu. Anak arloji kadang dimakannya. Sampai tiba suatu saat, juga di bulan Mei, ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Mati ditikam trauma, ditusuk depresi.

 Di atas tanah mentah, pada setiap bulan Mei, suami dan anak-anaknya selalu mengenangnya. Bukan dengan sekedar seremoni dan doa yang terpanjat. Tetapi dengan kepasrahan total “semoga tidak ada air mata dan darah karena perbedaan”

Sumber Gambar:  indonesian.cri.cn/…/2009/03/30/IMG_4609.jpg