slide14Sebelum memasuki Betung Ateuh di Nagan Raya, sejenak kita menarik napas di Singga Mata. Hamparan luas Aceh Barat terbentang laksana permadani raksasa. Kita terkagum-kagum menyaksikan keindahan alam tepi barat Nanggroe Darussalam dari pinggiran Leuser yang lebat.

Dari Singga Mata, Meulaboh tampak seperti hidung di lekukan wajah. Ujung karang mancung ke samudera Hindia seakan-akan ingin menunjukkan keelokannya. Di sisi sebelah barat suak ribee dengan hamparan pekuburan cina selalu setia menyapa senja. Dan di timurnya sebuah dermaga setengah koyak sepi menunggu kapal merapat.

Namun demikian Meulaboh adalah sebuah kota yang sedang bergeliat selepas tsunami menghantamnya. Mungkin di bawah tanahnya ada jasad yang belum dikuburkan dengan layak, tetapi di atasnya lalu lintas manusia seakan-akan ingin melupakan trauma itu.

Tidak ada angkutan kota, tetapi perputaran uangnya mengalir deras di antara deru terali kereta (sepeda motor) dan becak. Rupiah melambung jauh di daftar menu makanan. Dan di kedai-kedai kopi segala manusia dengan beribu kepala beradu argumentasi tentang Aceh hari ini dan ke depan.

Orang bilang Meulaboh itu kota yang elok. Orang yang bilang itu ada benarnya juga. Indah nian Meulaboh, pantai kasih yang unik dengan segala seni tertumpah. Ujung karang yang tidak pernah sepi dihampiri pasangan pencinta yang sejenak menulis cinta di hamparan samudera. Suak Ribee yang menawan dengan tamparan senja jingganya yang memikat.

Itulah Meulaboh, tempat dimana segala orang melabuhkan kisah. Kisah tentang segala, kisah tentang semua. Namun yang pasti di Meulaboh, menatap dari Singga Mata mengenang segala kisah tentang pencarian akan makna perdamaian. Bahwa Perdamaian itu ada di sekitar ujung karang, orang-orang yang berseliweran, dan menu makanan yang terhidang, tetapi menjadikan sebuah situasi, mengangkatnya menjadi suasana benar-benar butuh perjuangan.