Pengalamannya begini

Ketika masih di Aceh, dalam berbagai kesempatan, secara spontan saya kadang melatah “Astaqfirullahalazim”, dan atau “Masyallah”. Sebagian sahabat saya yang muslim, yang mendengar kadang melontar kata-kalimat “Ah gaya lo, pake istiqfar-istiqfar segala lo?”.  Saya merenung, dan mereka tersenyum. Sungguh, saya tidak sadar. Berdosakah saya? Salahkah saya? Tidak baik-kah saya? Kurang ajarkah saya? Tidak sopankah saya?

Menjawab sederetan pertanyaan reflektif itu saya termengong-mengong, namun lantas berkesimpulan (tentu saja sebuah kesimpulan sementara) bahwa ini bukan sekedar dan melulu latah, sebuah kata-kalimat lepas spontan, tetapi sebuah tanda yang mau dimakna sebagai entah.

Lalu begini

Merefleksikan kata-kalimat yang lepas latah dalam keseharian komunikasi-relasi serupa berikut ini: “Mama mia!”, “Astaqfirullahalazim”, “Masyallah”, “Oh, Ibu!”, ‘Jesus Christ”, “Oh my God!”, “Puki mak”, “Ampun Tuhan”, “Aduh!”, “Ole…”, dan atau “Ampun DJ”, “Oi…mama!”, “Oh, No!” dan seterusnya sungguh menarik minat saya. Minat itu membuncah lantaran dua hal, pertama saya pernah mengalaminya dan kedua, saya dan juga anda tidak pernah menyadarinya dengan tanya ‘mengapa?”

Padahal selalu, setiap kita, saya dan anda, sadar atau tidak, pernah melepas salah satu dari kata-kalimat tersebut di atas dalam perjumpaan-perjumpaan kita dengan yang ‘asing’. Bukan hanya ketika berhadapan dengan situasi atau peristiwa yang mengejutkan, tetapi juga orang atau subjek yang ‘tidak biasa’. Entah  yang ‘tidak biasa’ atau ‘asing’ itu hadir sebagai yang mengagumkan, mempesona dan atau (maupun) yang aneh dan ‘bejat’ sekalipun.

Namun, lantaran hanya sekedar sebagai ungkapan ke-terkejut-an/keter-perajat-an, saya dan juga anda lantas tidak menyuluk-masuk untuk mencoba mencerna-maknainya. Apa yang mau saya katakan bukan perihal sadar atau tidak ketika kata-kalimat latah itu dilepas-lontar. Bukan pula lantaran kata-kalimat latah itu dilepas-lontar baik atau buruk dalam ber-komunikasi (perihal ini bisa ditelisik lebih jauh, namun lebih merupakan sebagai dampak).

Yang hendak ditelisik dalam dan melalui catatan kecil ini adalah kata-kalimat latah itu sebagai symbol dan tanda (tanda dan symbol yang dimaksudkan di sini bukan symbol dan tanda linguistis). Simbol dan tanda kepribadian, sejauhmana seseorang sebagai pribadi otonom berproses dalam hidup dan kehidupan. Jika hendak diringkas, latahan di atas merupakan salah satu letupan dari puncak-puncak internalisasi diri seseorang di hadapan dan dalam lingkungannya.

Mungkin begini

Ada debat yang menghebat dan tampaknya tak pernah berujung perihal factor-faktor pembentuk kepribadian manusia, sebagian pakar (lebih-lebih para sosiolog dan psikolog) menyebut pribadi manusia ditentukan oleh warisan biologis, sebagian lagi menyebut lingkungan fisik, sebagian lagi menyebut kebudayaan, yang lain pengalaman kelompok dan lain lagi menyebut pengalaman unik. Dua yang paling hebat, dalam mendebat bahkan sampai memakan waktu berabad-abad adalah perihal proses pembentukan kepribadian manusia antara apakah dipengaruhi ‘bawaan’ (bilogis-genetikal) ataukah oleh ‘asuhan’ (lingkungan social).

Amatan dan pengalaman personal penulis, pun dalam perjumpaan-perjumpaan dengan orang-orang dengan peristiwa-peristiwa kehidupan mereka memberikan kurang lebih gambaran kesimpulan demikian: bahwa factor biologis-genetikal tidak berperan penting dalam pembentukan kepribadian manusia. Justru yang mendominasi proses perkembangan kepribadian dan karakteristik manusia sebagai pribadi adalah sosialisasi (penyesuaian diri) yang berulang dengan lingkungan.

Perihal itu, penulis sependapat dengan dua sosiolog Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1994) yang menyatakan seorang bayi lahir ke dunia ini sebagai suatu organism kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik. Kemudian ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola relasi, dan konsep yang mendalam serta konsisten tentang dirinya. Semua orang memperoleh semua itu melalui suatu proses yang kita sebut sosialisasi, yakni sebuah proses belajar yang mengubahnya dari seekor ‘binatang’ menjadi pribadi dengan kepribadian manusiawi. Ringkasnya adalah sebuah proses dengan mana seseorang menghayati (mendarah-dagingkan) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbul-lahirlah diri yang unik.

“Puki Mak, Koq Jadi Begini”

Lantas demikian, jika direfleksikan sungguh letupan-lepasan kata-kalimat latah semisal “Puki Mak” dan atau “Mama mia!”, “Astaqfirullahalazim”, “Masyallah”, “Oh, Ibu!”, ‘Jesus Christ”, “Oh my God!”, “Anjing, babi, bangsat”, “Ampun Tuhan”, “Aduh!”, “Ole…”, dan atau “Ampun DJ”, “Oi…mama!”, “Oh, No!” dan seterusnya merupakan buah-buah dari proses internalisasi diri seseorang dengan lingkungannya.

Semakin buruk dan bobroknya sebuah lingkungan social dan atau lingkungan keluarga (sebagai unit social terkecil), bukan tidak mungkin akan membentuk kepribadian yang buruk pula. Penulis menjumpai sebuah keluarga yang setiap harinya mendiamkan pertentangan dan konflik internalnya dengan caci maki dan umpatan-umpatan kasar. Seorang suami memaki istrinya, istrinya membalasnya. Kepada anak-anaknya, mereka diamkan dengan maki. Dan karena takut ketahuan, anak-anaknya membalas seperti berbisik dengan makian yang sama.

Sebaliknya dalam lingkungan social yang bersih, yang menjunjung tinggi norma-norma kesopanan, kesantunan dan nilai-nilai agama, menjadi hal yang lazim kita dengar latahan-latahan yang santun sekalipun dikejutkan oleh peristiwa ‘asing’ yang amoral. Penulis menjumpai dan bahkan suluk ke dalam lingkungan social yang demikian ketika untuk sementara menetap di Meulaboh Nanggroe Aceh Darusallam. Sampai-sampai, kadang dengan tanpa sadar penulis melatah “Astaqfirullahalazim”, “Masyallah”.

Latahan yang demikian bahkan terbawa sampai ke Flores yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Sesama saudara penulis yang katholik termengong-mengong ketika mendengar latahan itu. Hal itu bisa dimaklumi, lantaran bukan hanya karena tidak terbiasa mendengarnya, tetapi juga lebih karena tidak pernah larut dalam perjumpaan-perjumpaan sebagaimana yang penulis alami.

Di antara lingkungan social seperti yang dilukiskan di atas, terdapat lingkungan social dan budaya profan. Bias modernitas menawarkan persentuhan-persentuhan dengan norma-norma moral universal, yang di satu sisi bukan hal yang buruk, dan di sisi yang lain tidak bersinggungan langsung dengan Tuhan dan atau agama mana pun. Letupan latahan semisal “Aduh!”, “Ole…”, dan atau “Ampun DJ”, “Oi…mama!”, “Oh, No!” menurut hemat penulis adalah buah-buah dari persinggungan seseorang dengan lingkungan yang demikian.

Begitukah?

“Astaqfirullahalazim, eh maaf”. Penulis tidak berani menjawab apakah amatan-pengalaman-analisis penulis persis atau tidak, berdasar atau tidak pada pengalaman mayoritas orang. Namun yang pasti bahwa, apa pun kata-kalimat latahan sebenarnya merupakan bukan sekedar sebagai latahan semata, tetapi merupakan buah dari internalisasi-sosialiasi diri. Sekalipun kita dilahirkan dari seorang ulama besar atau mantan pendeta, tetapi jika dalam persentuhan dan perjumpaan kita larut dalam lingkungan yang buruk secara social, maka bukan tidak mungkin kita akan didewasakan di dalamnya. Sebaliknya sekalipun kita dilahirkan oleh seorang pelacur atau dari ibu tidak berayah, tetapi lantaran dibesarkan dalam lingkungan yang menjunjung tinggi norma kesantunan, kita akan didewasakan sebagai pribadi yang matang.

Berhadapan dengan semua penjelasan di atas, secara khsus berangkat dari sebuah kisah latahan yang sederhana, sebagai pribadi yang sudah sedang berkembang mematang-dewasakan diri adalah penting untuk selalu awas dan bijak dalam menempatkan diri, menjumpai relasi dengan persentuhan-persentuhan social, agar sesuatu yang sederhana yang disebut latah tidak asal me-latah.