MART SAKEUS, TERINSPIRASI WAJAH TUHAN

RHINO VALENTINO DAN SESUATU “LAE”

Rinho ValentinoL a e (N) adalah sebuah kata benda berarti Jamak, demikian designer, aktivis dan seniman Rhino Valentino memberi tanda atas karya-karyanya. Lae selain memberi makna tentang kebendaan, berdaya rangkai sintaksis, juga mengisyaratkan adanya sarana-sarana khusus untuk menyatakan arti ketunggalan dan arti kejamakan.

Bagi Valentino, Lae adalah kata benda abstrak untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan imajinasi. La’e dengan demikian tidak hanya “kelamin” dalam pengertian kata bahasa Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur tetapi juga menjelaskan sesuatu yang melampauinya yakni sebuah proses mengabstraksi.

Lae dalam arti itulah yang mau digarisbawahi Valentino. Bahwa karya-karyanya, baik lukis, sketsa, foto, puisi maupun instalasi tidak pernah pulang ke ruang tafsir yang sama. Semua karya-karyanya bisa dibaca secara berulang dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dan semuanya tak pernah bermakna tunggal.

Mengenal Rhino Valentino, anggota komunitas Bolo Lobo dan juga pengampuh Chomabee Bengkel Grafis dan tandanya Lae ini, saya seperti diajak untuk memaklumi secara berulangkali sikap dan posisi epistemik seorang seniman dalam memaknai realitas keseharian. Bahwa mereka adalah orang luar biasa, kreatif dan gila.

Maka benarlah apa yang dibilang ahli genetika Kári Stefánsson bahwa seseorang yang kreatif, seseorang yang memiliki kemampuan untuk berpikir di luar ‘kotak.’ Dan ketika Anda meninggalkan ‘kotak’ di pagi hari, Anda mungkin tidak dapat kembali ke dalam ‘kotak’ di malam hari.

12208530_872853539488921_2376301715682038780_nSeniman adalah seseorang-seseorang itu. Mereka, termasuk Valentino bukan hanya orang-orang kreatif tetapi juga orang-orang yang tidak dapat pulang ke dalam “kotak” yang sama setiap hari. Mereka selalu hendak melampaui keseharian, menarik diri darinya dan memberi catatan lain atasnya dengan cara mereka. Dan itu gila. Memaknai mereka sama seperti kita melihat Lae secara baru.

Berikut, sebagai missal saya menyebut sedikit dari orang-orang itu yang tidak melihat benda sebagai semata benda yang diinderai tetapi sebuah tanda yang bermakna jamak, sebagai sebuah Lae.

Jamie McCartney, seniman asal Inggris ini misalnya pada 2011 mencetak sekitar 400 vagina milik 400 perempuan. Dia menamai karya seninya sebagai Great Wall of Vagina. Berikut ada Marcey Hawk. Pelukis asal Amerika Serikat ini berani melukis dengan payudara, mirip seperti Tim Patch, seniman Australia yang memiliki kemampuan gila, melukis dengan menggunakan alat kelaminnya sendiri. Dia menjuluki dirinya Pricasso

Selain seniman-seniman di atas masih ada  juga orang gila yang lain sebut saja Shigeko Kubota,  Casey Jenkins dan atau seorang Sarah Levy. Kubota, perempuan berdarah Jepang ini berani melukis dengan vaginanya. Dan itu dilakukannya sudah sejak ini sejak 1960-an. Sementara Casey Jenskins seniman asal Australia menggunakan vaginanya untuk merajut. Gila, dia memasukkan benang rajut ke dalam kelaminnya lalu mulai membuat sebuah karya.

Semantara itu terinspirasi oleh kontroversi Donald Trump, jurnalis sekaligus aktivis dan seniman, Sarah Levy melukis wajah Donal Trump dengan cat berwarna merah yakni darah mentruasinya sendiri. Karyanya itu diberinya judul ‘Whateever”.

Gila. Gila benar. Vagina, penis, payudara dan lae adalah tanda. Rhino Valentino, Casey Jenskins, Sarah Levy, Jamie McCartney, Marcey Hawk, Tin Patch dan masih sejuta-an manusia lainnya adalah orang-orang yang tak pernah mau pulang ke dalam “kotak” yang sama. Mengapa, karena di sana sudah ada Lae. Dan mereka tidak akan pernah mau membacanya Lae sekedar sebagai Lae. (Dari berbagai sumber)

Catatan:
* Tentang Rinho Valentino bisa dijumpai di Chomabee Labuan Bajo
*
 Atau baca di Floresa

TIGA SAJAK DARI PARIS

notre dame

ZIARAH

Di seine yang tenang
ribuan anak kunci menengadah
panjatkan doadoa cinta.

Di pont de arts
ribuan gembok berangkulan
madahkan keabadian.

Hingga malam menyalakan eiffel
Tuhan tak jua pulang ke Notre Dame.
kepada-Nya aku bertanya mengapa.

“karena kalian telah memindahkan altar
dalam ziarah” jawab-Nya.

 

NOTRE DAME

Di celahcelah dinding yang retak
mengalir air mata Maurice de Sully,
jadi seine

di kaki lantai yang berlumut
tertidur seorang Victor Hugo,
jadi pont de arts

 

EIFFEL

Tuhan adalah
kekuatan dan keindahan
yang dapat binasa,
Gustave membunuhnya.

 

April 2014

POLITIK LUPA DIRI: YUDAS ISKARIOT DAN PILATUS

YudasPersekongkolan Yudas Iskariot dengan kaum farisi sudah tercium sejak malam perjamuan. Ketika sedang bakar daging anak domba, makan-makan, dan minum arak di sebuah pendopo. Yudas, yang duduk di kursi paling ujung, pura-pura santun, sambil elus-elus bulu dagu. Sesekali ia melirik jam tangannya, wajahnya cemas.

Tidak berapa lama wajahnya jadi merah padam ketika mendengar kalimat ‘di antara kalian ada yang jadi pengkhianat”. Kalimat itu bagai petir menampar jidatnya, sekaligus sumpah yang membuatnya tak dapat hindar. Yudas pun ciut.

Beberapa hari kemudian, Yudas Iskariot ditemukan membusuk di hutan. Dia mati bunuh diri. Menyesal, karena telah menjual kebenaran kepada kaum farisi, empunya kaum pecundang.

Politik yang dimainkan Yudas Iskariot terbilang berani. Berani melanggar dua belas tanda tangan kesepakatan dimana otonomi kerasulan harus diemban yakni “Akulah jalan kebenaran dan hidup kekal”.

Tetapi logika Yudas tidak berjalan maksimal, rasa laparnjya jauh liar dari solidaritas persekutuan itu. Demi kepingan dinar, dia terang-terangan telanjang, menyeberang dan lantas tanda tangan nota kesepahaman dengan pecundang. Senyap.

Percaya atau tidak. Andai saja Yudas tidak memilih bunuh diri dengan cara gantung diri, bukan mustahil dia akan diseret seperti Barabas. Jika mau jujur, memang sudah seharusnya orang-orang seperti Yudas memilih bunuh diri, sebelum dibunuh waktu, dibully dan ditikam maki.

Lain Yudas, lain Pilatus. Yudas tegas sampai mati. Pilihannya membunuhnya. Sebab resiko ditanggung sendiri. Sedang Pilatus lebih elegan, walau memang ada bau persengkolan tercium dari gelagatnya. Katanya ‘saya tidak mau menanggung salah atas darah orang ini’. Dari hati kecilnya yang paling dalam, dia takut pada darah kebenaran.

Agar tidak besar salahnya, Pilatus kemudian memilih mediasi. Mempertemukan kebenaran dan si pecundang Barabas untuk kemudian dipilih warga. Mengapa Pilatus memilih cuci tangan. Jelas, ia takut dikutuk atasannya. “Sebagai pribadi saya adalah bagian dari kebenaran, tetapi sebagai seorang wali negeri saya harus tunduk pada system”

Dia hanya seorang wali negeri, di atasnya masih ada yang agung yang bernama romawi. Namun sebenarnya, tidak hanya karena itu ia memilih mundur. Alasan yang jauh lebih substansial sebenarnya karena ia tak punya definisi yang pasti tentang apa itu kebenaran. Ruang kepalanya tak punya referensi teks analisis filsafat politik. Hal itu membuat posisi epistemisnya linglung. Ia terjebak dalam demokrasi paling pragmatic.

Politik yang dimainkan Pilatus sebenarnya juga ngeri. Melepas tanggung jawab kemudian menjadi penengah di tengah krisis sebenarnya beresiko konflik. Bayangkan jika terjadi tarung taji antara kawanan Barabas dan jemaat kebenaran? Apa yang akan terjadi? Belum lagi provokasi penumpang gelap yang nimbrung bermain. Chaos.

Well kita cukup sampai di sini. Tapi yang pasti, Yudas Iskariot dan Pilatus punya aliran kepercayaan alias berguru pada ideologi politik yang sama, yakni “lupa diri”. Ketiganya tau pilihan politik masing-masing, tetapi pura-pura tuli karena deal-deal kepentingan dengan diri mereka sendiri yang tak pernah mau jujur menjadi ‘nabi’.

NTT: Dari Nangis Terus-Terus sampai Novanto (dan) Titik Titik

plesetan tentang nusa tenggara timurNTT tidak hanya merupakan kependekan dari Nusa Tenggara Timur. NTT ternyata punya kepanjangan yang lain. Ada yang postif dan optimistik, namun sayang, sebagian besarnya adalah plesetan, tak jarang pula bernada satir. Namun yang pasti, semuanya lahir secara spontan karena membaca peristiwa keseharian dalam dan dengan segala keserbaannya yang begitu terang benderang hadir dan ada.

Ada yang sayup-sayup didengar, dengan menyebut NTT sebagai Novanto Teman beTa. Plesetan ini muncul lantaran pemprov NTT, secara khusus Frans Lebu Raya selaku gubernur mempihaketigakan Pantai Pede, satu-satunya ruang public tersisa di Labuan Bajo Manggarai Barat kepada PT Sarana Investama Manggabar yang diduga milik Setya Novanto, Ketua DPR RI. Novanto Teman beta dengan lain kalimat adalah Novanto temannya Frans Lebu Raya.

Ada juga yang memplesetkan NTT sebagai Nestapa Tiap Tahun, karena setiap tahun selalu ada cerita miris datang dari NTT, mulai dari bencana kekeringan, kelaparan, busung lapar, krisis air, pembunuhan, TKI dan seterusnya sampai dengan krisis sumber daya public yang lain. Sederetan kisah sedih tentang NTT yang diplesetkan sedemikian sehingga ternyata bukan hanya karena NTT secara alamiah dan geografis merupakan negeri yang ditakdirkan dengan Nasib Tidak Tentu, lantas Nangis Terus Terus atau Ngeyel Terus Terus sehingga terpaksa tunggu siapa tahu Nanti Tuhan Tolong.

Tetapi juga karena secara struktural sebenarnya Negara, dalam hal ini pemerintah eksekutif dan legislatif, kepolisian dan kejaksaan turut andil dalam proses pemiskinan itu. Munculnya plesetan NTT sebagai Nyolong Terus Terus atau Nyolong Tiap Tahun, atau Nusa Tipu Tipu sebenarnya merupakan protes atas sikap dan karakter sebagian politisi dan birokrat yang koruptif, tidak transparan dan miskin integritas. Apalagi jika ketakbecusan itu adalah akibat dari persentuhan yang tidak sehat dengan para pemodal atau investor yang melulu memahami pembangunan secara ekonomi-kapitalistis.

Fakta paling terang adalah kasus tambang. Beragam aksi protes bermunculan di seantero NTT lebih-lebih di Timor dan Flores. Di satu sisi warga berusaha untuk melawan berbagai upaya pencaplokan sumber daya alam tersebut dengan beragam teriakan di antaranya: Nusa Tanpa Tambang, Nusa Tolak Tambang. Tetapi di sisi yang lain pemerintah dengan beragam argumentasi tetap tidak peduli, dan bahkan masih menerbitkan izin usaha pertambangan kepada para investor tambang sambil terus meng-ya-kan Nah Teruskan Tambang, Nah Teruslah Tambang. Akhirnya yang terjadi Ngujungnya Tolak Tarik, Nah Teler Telerlah.

Namun dari antara sekian kecemasan, rasa pesimis dan ketakmenentuan itu, ada juga keyakinan dan harapan yang menggembirakan. Walau sebenarnya dari hati yang paling dalam, secara pribadi, saya belum seratus persen percaya. Apalagi kepanjangan tentang NTT disampaikan oleh seorang Frans Lebu Raya yang adalah Novanto Teman beTa. Kata Frans Lebu Raya, seperti dilansir bisnis.com edisi Senin (26/10/2015) bahwa NTT adalah New Territory Tourism (ehm atau jangan-jangan Novanto Territory Tourism) sehingga membuat Frans Lebu Raya begitu senangnya sampai menyebut NTT sebagai Nikmat Tiada Taranya.

Oke, well, di satu sisi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu destinasi pariwisata unggulan Indoensia, bahkan merupakan pintu gerbang pariwisata Indonesia. Namun perlu dicatat pula, keseharian masyarakat NTT adalah Nelayan Tani Ternak dan juga merupakan salah satu pusat kearifan local Indonesia dan dunia dalam hal tekstil tribal sehingga NTT layak disebut sebagai Nusa Tenun Tangan atau Nusa Tenun ikaT.

Sebagai salah satu provinsi kepulauan di Indonesia yang terdiri atas 1 Kota  dan 21 Kabupaten, 306 Kecamatan, 318 Kelurahan dan 2.950 Desa yang menyebar di ratusan pulau besar dan kecil, NTT semestinya memprioritaskan keseharian mayoritas warganya yang adalah nelayan, petani, peternak dan penenun.

Pariwisata bukan tidak penting dan pun bukan harus diabaikan, tetapi sumber daya warga kebanyakan dan kesiapan dalam sector yang lain perlu pula ditingkatkan sehingga tidak timpang ketika NTT menjadi New Territory Tourism. Jika tidak, Nikmatnya Tiada Tara hanya dirasakan oleh segelintir orang, atau jangan-jangan hanya oleh seorang Frans Lebu Raya. Ah, apalagi kalau Novanto (dan) Titik Titik…